SLE

 

1.        Asmat Burhan             (10620345)
2.        Ita Kusworini               (10620359)
3.        Melsiansi M. S.            (10620362)
4.        Pungky A.                    (10620370)
5.        Siti Arifah                    (10620375)
6.        Vaniaji Satrio               (10620377)
7.        Sendy Rindra               ( )









BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
 Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah suatu sindrom yang melibatkan banyak organ dan memberikan gejala klinis yang beragam. Perjalanan penyakit ini dapat ringan atau berat, secara terus-menerus, dengan kekambuhan yang menimbulkan kerusakan jaringan akibat proses radang yang ditimbulkannya.
Sistemik Lupus Eritematosus lebih banyak dijumpai pada wanita umur antara 13-40 tahun dengan perbandingan perempuan : laki-laki = 9:1 diduga ada kaitan faktor hormonal dengan patogenesis. Dari berbagai laporan penelitian prevalensi dari masing-masing suku berbeda-beda, diperkirakan 15 sampai 50 kasus per 100.000 penduduk. Suku Indian Amerika, Afrika, dan Hispanik dilaporkan prevalensi SLE sangat tinggi bila dibandingkan dengan suku Caucasian. Diperkirakan prevalensi di Inggris 12,5/100.000, Asia 17/100.000 penduduk, Aborigin 11/100.000. dilaporkan suku-suku di Asia pevalensi SLE pada suku Cina, Jepang, dan Filipina lebih tinggi dibandingkan suku India dan Pakistan (Askandar, 2007).
Genetik, lingkungan, hormonal dianggap sebagai etiologi SLE, yang mana ke tiga faktor ini saling terkait erat. Faktor lingkungan dan hormonalberperan sebagai pencetus pada individu peka genetik (Askandar, 2007).
Gejala utama Sistemik Lupus Eritmatosus (SLE) adalah kelemahan umum, anoreksia, rasa mual, demam dan kehilangan berat badan. Sekitar 80% kelainan melibatkan jaringan persendian, kulit, dan darah 30- 0% menyebabkan kelainan ginjal, jantung dan sistem saraf, serta 10-30% menyebabkan trombosis arteri dan vena yang berhubungan dengan antibody antikardiolipin.
Manifestasi klinis SLE pada sistem saraf dapat berupa neuropsikiartik psikiosis,kejang, stroke, kelumpuhan saraf kranial, maupun mielopati. Angka kejadian mielopatitransversa pada SLE sekitar 1-2%, sedangkan insiden kejadian mielopati transversa pada populasi umum 1,34/satu juta. Prevalensi SLE diantara etnik adalah wanita kulit hitam 1:250, wanita kulit putih 1:4300, dan wanita Cina 1:1000.
Saat ini mortalitas lupus pada dekade 5 tahun terakhir menunjukkan perbaikan. Five year survival rate-nya saat ini hampir 90 %, sedangkan 15 year survival rate-nya berkisar 63-79 %. Kemajuan ini disebabkan pendekatan terapi yang lebih agresif dan kemajuan penggunaan immunosupresan untuk menekan aktivitas penyakit. Prinsip engobatan adalah untuk menekan aktivitas penyakit, untuk mencegah progresivitas dan memantau efek mpaing obat. Sampai saat ini steriod masih digunakan sebagai pilihan utama untuk mengendalikan aktivitas penyakit.
 
1.2  Rumusan masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumusan masalah sebagai berikut :
Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) ?

1.3  Tujuan
1.3.1    Tujuan umum :
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien denagan Sistemik Lupus Eritematosus (SLE).

1.3.2    Tujuan Khusus :
1.        Untuk mengetahui definisi dari Sistemik Lupus Eritematosus.
2.        Untuk mengetahui etiologi dari Sistemik Lupus Eritematosus.
3.        Untuk mengetahui patofisiologi dan pathway Sistemik Lupus Eritematosus.
4.        Untuk mengetahui manifestasi klinis Sistemik Lupus Eritematosus.
5.        Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang Sistemik Lupus Eritematosus.
6.        Untuk mengetahui penatalaksanaan medis Sistemik Lupus Eritematosus.
7.        Untuk mengetahui komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit Sistemik Lupus Eritematosus.
8.        Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan Sistemik Lupus Eritematosus.

1.4 Manfaat
       1.4.1 Bagi mahasiswa
                   Mahasiswa mampu mempelajari dan memahami tentang penyakit Sistemik Lupus Eritematosus.
         1.4.2 Bagi masyarakat
Masyarakat mampu memahami tentang penyebaran penyakit Sistemik Lupus Eritematosus, sehingga bisa mencegah penyakit ini sebelum menyerang mereka.
       1.4.3 Bagi institusi
Mampu memberikan pelayanan kesehatan kepada publik tentang pengobatan penyakit Sistemik Lupus Eritematosus, dan memberikan penyuluhan.

         











4
 
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun menahun yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai organ tubuh, termasuk kulit, persendian dan organ dalam.
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang terjadi karena produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi  episode remisi.
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-macam, bersifat sementara dan sulit untuk didiognisis.
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.
Klasifikasi SLE (Sistemik Lupus Erithematosus)
Ada 3 jenis penyakit Lupus yang dikenal yaitu:
1. Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit Lupus yang menyerang kulit.
2. Systemics Lupus, penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan system di dalam tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati, otak, dan sistem saraf. Selanjutnya kita singkat dengan SLE (Systemics Lupus Erythematosus).
3. Drug-Induced, penyakit Lupus yang timbul setelah penggunaan obat tertentu. Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan.
2.2 Etiologi
Sampai saat penyebab SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) belum diketahui, Diduga ada beberapa paktor yang terlibat seperti faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE (Sistemik Lupus Eritematosus).
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi ini juga berperan dalam kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan dalam fatogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self tolerance bersama aktifitas sel B, hal ini dapat terjadi sekunder terhadap beberapa faktor :
1.    Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
2.    Hiperaktivitas sel T helper
3.    Kerusakan pada fungsi sel T supresor
      Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus :
1.    Infeksi
2.    Antibiotik
3.    Sinar ultraviolet
4.    Stress yang berlebihan
5.    Obat-obatan yang tertentu
6.    Hormon
Lupus seringkali disebut penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali sering ditemukan pada wanita. Faktor hormonal yang menyebabkan wanita sering terserang penyakit lupus daripada pria. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormone (terutama esterogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini. Kadang-kadang obat jantung tertentu dapat menyebabkan sindrom mirip lupus, yang akan menghilang bila pemakaian obat dihentikan.

2.3  Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduksi) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya terjadi serangan antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Kerusaan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini menimbulkan abnormalitas respons imun didalam tubuh yaitu :
1.      Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
2.      Pembentukan sitokin yang berlebihan
3.      Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain  :
a.       Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun sitokin dalam tubuh
b.      Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c.       Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen karena adanya mimikri molekuler.

Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi-antibodi yang tersebut membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan/organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.


Pathway SLE
 


 

2.4  Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai dengan tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala yang terkenanya sistem imun. Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbsi. Remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, nafsu makan berkurang, kelemahan, berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang paling menonjol ialah demam,  kadang-kadang disertai menggigil.

1.         Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala muskuloskeletal, berupa artritis (93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal proksimal didikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain pembekakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi. Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas, kontraktur atau ankilosis. Adakala terdapat nodul reumatoid. Nekrosis vaskular dapat terjadi pada berbagai tempat, dan ditemukan pada pasien yang mendapatkan pengobatan dengan streroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris.

2.           Gejala Mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, diskoid, dan livido retikularis.
Ruam kulit berbentuk kupu-kupu berupa eritema yang agak edamatus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas luka. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas. Lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan berbentuk silikatriks.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual. Livido retikularis suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering ditemui pada SLE.

3.           Ginjal
Kelainan ginjal ditemukan pada 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah proteinuria atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik kegagalan ginjal jarang terjadi, hanya terdapat pada 25% kasus SLE yang urinnya menunjukkan kelainan.
Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis lupus membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit  yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.
Kelainan ginjal yang lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab kematian SLE kronik.
4.           Susunan Saraf Pusat
Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis organik dan kejang-kejang.
Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem lain-lainnya. Pasien menunjukkan gejala halusinasi disamping gejala khas organik otak seperti sukar menghitung dan tidak sanggup mengingat kembali gambar yang pernah dilihat.
Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis tak dapat dibedakan dengan psikosis lupus. Perbedaan antara keduanya baru dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid yang dipakai. Psikosis lupus membaik jika dosis steroid dinaikkan dan sebaliknya.
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah afasia, hemiplegia.
5.         Mata
Kelainan mata dapat berupa konjungtivitas, perdarahan subkonjungtival dan adanya badan sitoid di retina
6.         Jantung
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan tersebut.
7.         Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari kejadian tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak napas.
8.           Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25% kasus SLE, mungkin disertai mual dan  diare. Gejalanya menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.
9.         Hemik-Limfatik
Kelenjar getah bening yang sering terkena adalah aksila dan sevikal, dengan karakteristik tidak nyeri tekan dan lunak. Organ limfoid lain adalah splenomegali  yang biasanya disertai oleh pembesaran hati. Kerusakan lien berupa infark atau thrombosis berkaitan dengan adanya lupus antikoagulan. Anemia dapat dijumpai pada periode perkembangan penyakit LES, yang diperantai oleh proses imun dan non-imun.

2.5  Pemeriksaaan Penunjang
a.  Pemeriksaan Laboratorim
Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan :
1. Hematologi, ditemukan anemia, leukopenia, trombosittopenia
2.  Kelainan Imunologis, ditemuka sel LE, antibodi antinuklir, komplemen serum menurun, anti DNA, faktor reumatitoid, krioglobulin, dan uji lues yang positif semu.
b.  Histopatologi
- Umum : Lesi yang dianggap karakteristik untuk SLE ialah badan hematoksilin, lesi  onionskin pada pembuluh darah limpa dan endokarditis verukosa Libman-Sacks.
-  Ginjal : 2 bentuk utama ialah glomerulus proliferatif difus dan nefritis lupus membranosa
-  Kulit : Pemeriksaan imunofluoresensi direks menunjukkan deposit IgG granular pada dermo-epidermal junction, baik pada lesi kulit yang aktif (90%) maupun pada kulit yang tak terkena (70%). Yang paling karakteristik untuk SLE ialah jika ditemukan pada kulit yang tidak terkena dan terpanjan.

2.6  Penatalaksanaan Medis
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan  jenis gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan serologis. Monotoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit.
a.     Pendidikan terhadap Pasien
Pasien diberikan penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya (perjalanan penyakit, komplikasi, prognosis), sehingga dapat bersikap positif terhadapn penanggulangan penyakit.
b.       Beberapa Prinsip Dasar Tindakan Pencegahan pada SLE
                           1.     Monitoring yang teratur
                           2.     Penghematan enersi, pada kebanyakan pasien kelelahan merupakan keluhan yang menonjol. Diperlukan waktu istirahat yang terjadwal setiap hari dan perlu ditekankan pentingnya tidur yang cukup.
                           3.     Fotoproteksi, kontak dengan sinar matahari harus dikurangi atau dihindarkan. Dapat juga digunakan lotion tertentu untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari langsung.
                           4.     Mengatasi infeksi, pasien SLE rentan terhadap infeksi. Jika ada demam yang tak jelas sebabnya, pasien harus memeriksanya.
                           5.     Merencanakan kehamila, kehamilan harus dihindarkan jika penyakit aktif atau jika pasien sedang mendapatkan pengobatan dengan obat imunosupresif.
c.        Pengobatan
                           1.     Lupus diskoid, terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid topikal. Krim luocinonid 5% lebih efektif dibandingkan krim hidrokrortison 1%. Terapi dengan hidroksiklorokuin efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif terhadap 50% pasien.       
                           2.     Serositis lupus (plueritis, perikarditis), standar terapi adalah NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal), anti-malaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis rendah.
                           3.     Arthritis lupus, untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah NSAIDs dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan ati-malaria. Sedangkan untuk keluhan myalgia dan gejala depresi diberikan serotonin reuptake inhibitor antidepresan (amitriptilin)
                           4.     Miositis lupus, standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi (dimulai dengan prednison dosis 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen meningkat mencapai dosis efektif terendah. Metode lain yang digunakan untuk mencegah efek samping pemberian harian adalah dengan cara pemberian prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg) metrotreksat atau azathioprine.
                           5.     Fenomena Raynaud, standar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya nifedipin dan nitrat, misalnya isosorbid mononitrat.
                           6.     Lupus nefritis, lupus nefritis kelas II mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan terapi minimal. Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karna menggambarkan perubahan status penyakit menjadi lebih parah. Lupus nefritis III memerlukan terapi yang sama agresifnya dengan DPGN. Pada lupus nefritis IV kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid intravena. Siklofosfamid intravena diberikan setiap bulan, setelah 10-14 hari pemberian, diperiksa kadar leukositnya. Dosis siklofosfamid selanjutnya akan dinaikkan atau diturunkan tergantung pada jumlah leukositnya (normalnya 3.000- 4.0000/ml). Pada lupus nefritis V regimen terapi yang di berikan adalah (1) monoterapi dengan kortikosteroid. (2) terapi kombinasi kortikosteroid dengan siklosporin A. (3) sikofosfamid, azathioprine atau klorambusil. Pada lupus nefritis V tahap lanjut, pilihan terapinya adalah dialisis dan transplantasi renal.
                           7.     Gangguan hematologis, untuk trombositopeni, terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini adalah kortikosteroid, imunoglobulin intravena. Sedangkan untuk anemi hemolitik, terapi yang dipertimangkan adalah kortikosteroid, danazol, dan spelenektomi.
                           8.     Pneumonitis intersititialis lupus, obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena.
                           9.     Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting, obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena

2. 7  Komplikasi
1.      Hipertensi (41%)
2.      Gangguan pertumbuhan (38%)
3.      Gangguan paru-paru kronik (31%)
4.      Abnormalitas mata (31%)
5.      Kerusakan ginjal permanen (25%)
6.      Gejala neuropsikiatri (22%)
7.      Kerusakan muskuloskeleta (9%)
8.      Gangguan fungsi gonad (3%)




























15
 
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1    Pengkajian
1.      Anamnese
a.       Identitas pasien 
Nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, pekerjaan, pendidikan terakhir, alamat.
b.      Keluhan utama
1.      Keluhan utama saat MRS               : 
Keluhan utama yang biasa muncul adalah demam
2.      Keluhan utama saat pengkajian      :
Keluhan utama yang biasa muncul saat pengkajian tidak pasti, tergantung kapan dilakukan pengkajian tersebut. Biasanya adalah demam, kelemahan, nafsu makan menurun dan BB menurun.
c.       Riwayat kesehatan         :  
1.      Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat dari dimulainya gejala penyakit sampai pasien atau keluarga memutuskan untuk dibawa ke RS. Yang biasa muncul adalah riwayat demam, kelemahan sampai intoleransi aktifitas, penurunan nafsu makan dan penurunan BB.
2.      Riwayat penyakit dahulu    :
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui apakah pernah mengalami hipertensi, gangguan pada mata, dan adanya nyeri sendi.
3.      Riwayat penyakit keluarga :
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui apakah dalam keluarga ada anggota yang pernah menderita penyakit yang sama.
4.      Riwayat psikososial            :
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui bagaimanakah hubungan klien dengan keluarga dan masyarakat. Pasien dapat menunjukkan gejala mudah marah dan fluktuasi, takut akan penolakan dari orang lain, harga diri rendah, kekawatiran menjadi beban orang lain. Tanda yang dapat ditunjukkan adalah ansietas, gelisah, menarik diri, depresi, fokus pada diri sendiri.
d.      Kebiasaan sehari – hari
1.    Nutrisi           :  Makan; yang dikaji adalah frekuensi, jumlah porsi yang habis, cara makan makanan yang disukai dan tidak disukai. Minum ; yang dikaji adalah frekuensi, jumlah, komposisi.
2.    Eliminasi       :  BAB dan BAK  ; yang dikaji adalah frekuensi, pola eliminasi, konsistensi, warna, bentuk.
3.    Istirahat         : jumlah jam tidur siang ataupun malam, adanya gangguan tidur atau tidak.
4.    Aktivitas       : kegiatan yang dilakukan dari bangun tidur sampai tidur kembali
5.    Personal hygiene : bagaimana kebiasaan dalam kebersihan diri sendiri ataupun lingkungan.
2.      Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : dikaji bagaimana keadaan umum klien saat pengkajian dilakukan.
TTV             :  tanda- tanda vital sangat penting untuk mengetahui kondisi umum pasien. Tindakan yang dilakukan adalah pengukuran tekanan darah, nadi, RR, dan suhu.
1.      Integumen : kulit tampak adanya ruam,  ada luka pada bibir atau mulut.
2.      Thoraks : paru ; rriwayat inspeksi paru, riwayat abses paru, dapat juga ditemukan adanya cairan dalam paru, nafas pendek saat istirahat dan aktivitas, takipneu, distess pernapasan akut, dan penurunan buyi napas. Jantung dan sirkulasi ; nyeri dada, tekanan nadi melebar, desiran ( menunjukkan mekanisme anemia ),  warna kulir pucat, ruam, sianosis.
3.      Abdomen : adanya nyeri tekan abdomen,
4.      Ekstremitas : menahan sendi pada posisi yang nyaman,
5.      Persyarafan/ neurosensori : sakit kepala, penurunan penglihatan, keseimbangan buruk,  kesemutan pada ekstremitas, kelemahan otot, penurunan kekuatan otot, kejang.
Data dasar pengkajian pasien
1.      Aktivitas
Gejala : Keletihan, kelemahan, nyeri sendi karena gerakan
Tanda : Penurunan semangat bekerja, toleransi terhadap aktivitas rendah, penurunan rentang gerak sendi, gangguan gaya berjalan.  
2.      Sirkuasi
Gejala : Nyeri dada
Tanda : TD : tekanan nadi melebar, desiran (menunjukkan mekanisme anemia), warna kulit : pucat/sianosis, membaran mukosa, kulit terdapat ruam.
3.      Integritas Ego
Gejala : Mudah marah dan fruktasi, takut akan penolakan dari orang lain, harga diri buruk, kekuatiran mengenai menjadi beban bagi yang mendekat
Tanda : Ansietas, gelisah, menarik diri, depresi, fokus pada diri sendiri
4.      Eliminasi
Gejala : Sering berkemih, berkemih dengan jumlah besar
Tanda : Nyeri tekan pada abdomen, urine encer : terdapat darah atau protein.
5.      Makanan/Cairan
Gejala : Mual/muntah, anoreksia, haus, kesulitan menelan, adanya penurunan BB
Tanda : turgor kulit buruk berbentuk ruam, lidah tampak merah daging, bibir : disudut bibir terdapat luka.
6.      Higiene
Gejala : kesulitan untuk mempertahankan aksi (nyeri/anemia berat), berbagai kesulitan untuk melakukan aktivitas perawatan pribadi.
Tanda : cerobaoh, tak rapih, kurang bertenaga.
7.      Neurosensori
Gejala : sakit kepala, berdenyut pusing, penurunan penglihatan, bayangan pada mata, kelemahan, keseimbangan buruk, kesemutan pada ekstremitas.
Tanda : kelemahan otot, penurunan kekuatan otot, kejang, pembekakan sendi simetri.
8.      Nyeri/Kenyamanan
Gejala : nyeri hebat, berdenyut, rasa perih di berbagai lokasi, sakit kepala berulang, tajam, sementara, nyeri tekan abdomen, nyeri dada
Tanda : menahan sendi pada posisi nyaman, sensitivitas terhadap palpitasi pada area yang sakit.
9.      Penapasan
Gejala : riwayat inspeksi paru, riwayat abses paru, napas pendek pada istirahat dan aktivitas.
Tanda : takipnea, distres pernapasan akut, bunyi napas menurun.
10.  Keamanan
Gejala : kekeringan pada mata dan membran mukosa, demam ringan menetap, lesi kulit, gangguan penglihatan, penyembuhan luka buruk
Tanda : berkeringat, mengigil berulang, gemetar, luka pada wajah
11.  Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala : riwayat penyakit hipertensi, hematologi, riwayat adanya masalah dengan penyembuhan luka/perdarahan, pertimbangan rencana pemulangan : lama perawatan: 4-8 hari, memerlukan bantuan dalam perawatan diri, pemeliharaan rumah.
3.      Pemeriksaan diagnostik
1.      Ig (Ig M dan Ig G) : peningkatan besar menunjukkan proses autoimun sebab penyebab AR
2.      Sinar x dari sendi yang sakit : menunjukkan pembekuan pada jaringan lunak erosi sendi, memperkecil jarak sendi
3.      Kerapuhan erirosit : menurun
4.      Jumlah trombosit : menurun
5.      JDL : memungkinkan berkembangannya pneumonia bakterial
6.      Rontgen : menunjukkan pleuritis
7.      Pemeriksaan dada dengan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura.
3.2         Diagnosa yang Sering Muncul
                  1.          Gangguan rasa nyaman (nyeri kronik) berhubungan dengan efusi sendi dan sesak akibat efusi pleura.
                  2.          Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan mobilitas.
                  3.          Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tidak seimbangnya suplai dan kebutuhan O2.

3.3         Intervensi
No.
Diagnosa Keperawatan
Intervensi
Rasional
1.
Gangguan rasa nyaman (nyeri kronik) berhubungan dengan efusi sendi dan sesak akibat efusi pleura .
Tujuan : Setelah
Dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24
jam, diharapkan
rasa nyeri teratasi.
Kriteria Hasil :
-       Menyatakan nyeri hilang/terkontrol
-       Menunjukkan rileks, istirahat tidur, peningkatan aktivitas dengan cepat
-       Menggabungkan ketrampilan relaksasi dan aktivitas hiburan ke dalam program control/nyeri

Mandiri
a.    Tentukan karakteristik nyeri, missal : tajam, atau seperti ditusuk. Selidiki perubahan lokasi/intensitas nyeri.


b.   Pantau TTV


c.    Berikan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan, missal: relaksasi, latihan nafas dalam



d.   Anjurkan untuk sering mengubah posisi. Bantu pasien untuk bergerak diatas tempat tidur, hindari tindakan yang menyentak
e.    Anjurkan untuk mandi dengan air hangat. Sediakan handuk hangat untuk mengompres sendi-sendi yang sakit beberapa kali sehari




f.    Berikan masase yang lembut

Kolaborasi
Bantu dengan terapi fisik

a.       Nyeri dada biasanya ada dalam beberapa derajat pada pneumonia, juga dapat timbul komplikasi pneumonia seperti perikarditis dan endokarditis
b.      Perubahan frekuensi jantung menunjukkan klien merasa nyeri
c.       Tindakan nonanalgesik diberikan dengan sentuhan lembut dapat menghilangkan ketidaknyamanan dan memperbesar efek analgesic
d.      Mencegah terjadinya kelelehan umum dan kekakuan sendi, mengurangi gerakan/rasa sakit pada sendi

e.       Panas meningkatkan relaksasi otot dan mobilitas, menurunkan rasa nyeri dan melepaskan kekakuan di pagi hari. Sensitivitas terhadap panas dapat dihilangkan dan luka dermal dapat disembuhkan
f.       Meningkatkan relaksasi/mengurangi tegangan otot

Memberikan dukungan untuk menghilangkan nyeri
2.
Gangguan integritas kulit b.d gangguan mobilitas fisik
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharafkan gangguan integritas kulit berkurang.
Kriteria Hasil :
-       Mempertahakan integritas kulit
-       Mengidentifikasi faktor risiko /perilaku klien untuk mencegah cidera dermal
-       Melakukan aktivitas sehari-hari
-       Observasi perbaikan luka /penyembuhan lesi bila ada.
Mandiri
a.    Kaji integritas kulit, catat perubahan turgor, warna, dan eritema


b.   Bantu untuk melakukan ROM (Range Of Motion)
c.    Inspeksi kulit/ titik tekan secara teratur untuk kemerahan, berikan pijatan lembut


d.   Awasi tungkai terhadap kemerahan, perhatikan dengan ketat terhadap pembentukan ulkus.

Kolaborasi
Gunakan pelindung, misalnya lotion sesuai dengan indikasi.

a.    Kondisi kulit dipengaruhi oleh sirkulasi dan mobilitas jaringan dapat menjadi rapuh dan cenderung untuk infeksi berat.
b.    Untuk meningkatkan sirkulasi jaringan dan mencegah statis
c.    Potensial jalan masuk organisme pathogen pada adanya gangguan sistem imun, hal ini meningkatkan resiko infeksi dan pelambatan proses penyembuhan
d.    Meningkatkan abalik vena menurunkan statis vena/pembentukan edema.


Menghindari kerusakan kulit dengan mencegah/menurunkan tekanan pada permukaan kulit.
3.
Intoleransi aktivitas
b.d tidak seimbangnya suplai dan kebutuhan O2
(anemia)
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan 3x24 jam, diharapkan menunjukkan penurunan tanda fisiologis intorelansi
Kriteria Hasil :
-       Adanya peningkatan toleransi aktivitas (termasuk aktivitas sehari-hari)
-       Berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari sesuai tingkat kemampuan
Mandiri
a.    Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas. Catat laporan kelelahan dan keletihan
b.   Awasi TD, nadi pernapasan, selama dan sesudah aktivitas



c.    Rencanakan latihan aktivitas dengan pasien, termasuk aktivitas yang pasien pandang perlu

d.   Gunakan teknik penghematan energi




e.    Anjurkan pasien berhenti bila terjadi nyeri dada, kelemahan atau pusing terjadi
Kolaborasi :
Berikan terapi oksigen tambahan

a.       Mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan



b.      Manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen adekuat ke jaringan
c.       Meningkatkan secara bertahap tingkat aktivitas sampai normal dan memperbaiki tonus otot tanpa kelemahan.
d.      Mendorong pasien melakukan banyak dengan membatasi penyimpangan energi dan mencegah kelemahan
e.       Stress berlebihan dapat menimbulkan kegagalan



Memeksimalkan sediaan oksigen untuk kebutuhan seluler.

















23
 
BAB 4
PENUTUP
4.1    Kesimpulan
Sistemik Lupus Eritematosus adalah suatu sindrom yang melibatkan banyak organ dan memberikan gejala klinis yang beragam. Perjalanan penyakit ini dapat ringan atau berat, secara terus-menerus, dengan kekambuhan yang menimbulkan kerusakan jaringan akibat proses radang yang ditimbulkannya. Gejala utama Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah kelemahan umum, anoreksia, rasa mual, demam dan kehilangan berat badan. Penyebab dari penyakit lupus meliputi pengaruh faktor genetik, lingkungan dan hormonal terhadap respons imun.
Penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan serologis.
4.2    Saran
1.         Bagi Bagi Mahasiswa
Diharapkan dapat memahami tentang asuhan keperawatan dan penatalaksanaan pada pasien SLE agar nantinya dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat.
2.         Bagi Institusi
Diharapkan untuk memberikan penanganan dan asuhan keperawatan yang tepat pada pasien SLE. Serta terus meningkatkan kualitas pelayanan bagi klien.
3.         Bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat dapat memahami tentang penyakit SLE serta penanganannya sehingga bisa lebih meningakatkan status kesehatan masyarakat pada umumnya.


 

1 komentar:

Posting Komentar