Ini di comot dari tugas kelompok temanku,,
1.
Ari Indra P (10620342)
2.
AyuPermatasari (10620346)
3.
EgaPratama (10620352)
4.
JanuarkoAgung (10620361)
5.
NilwanArfiansyah (10620366)
6.
Novan Suma P (10620367)
7.
NurHanifah (10620369)
8.
NurHidayah (10620370)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perubahan-perubahan akan terjadi pada tubuh manusia sejalan dengan
semakin meningkatnya usia. Perubahan tubuh terjadi sejak awal kehidupan hingga
usia lanjut pada semua organ dan jaringan tubuh. Keadaan demikian itu tampak
pula pada semua sistem muskuloskeletal dan jaringan lain yang ada kaitannya
dengan kemungkinan timbulnya beberapa golongan reumatik.
Salah satu golongan penyakit reumatik yang menimbulkan gangguan
muskuloskeletal adalah rheumatoid arthritis. Reumatik dapat mengakibatkan
perubahan otot hingga fungsinya dapat menurun bila otot pada bagian yang
menderita tidak dilatih guna mengaktifkan fungsi otot. Dengan meningkatnnya
usia menjadi tua fungsi otot dapat dilatih dengan baik. Namun usia lanjut tidak
selalu mengalami atau menderita rematik. Bagaimana timbulnya kejadian reumatik
ini, sampai sekarang belum sepenuhnya dapat dimengerti. Reumatik bukan
merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu sindrom. Golongan penyakit
yang menampilkan perwujudan sindroma reumatik cukup banyak, namun semua menunjukkan
adanya persamaan ciri. Menurut kesepakatan para ahli dibidang
rematologi,rematik dapat terungkap sebagai keluhan atau tanda. Dari
kesepakatan, dinyatakan ada tiga keluhan utama pada sistem muskuloskeletal
yaitu: nyeri, kekakuan(rasa kaku) dan kelemahan, serta adanya tiga tanda utama
yaitu: pembengkakan sendi,kelemahan otot dan gangguan gerak. (sonarto,1982)
Dari berbagai masalah ksehatan itu ternyata gangguan muskuloskletal
menempati urutan kedua 14,5 % setelah pnyakit kardiovaskuler dalam pola penyakit
masyarakat usia >55 tahun (Household Survey on Health,1996) dan berdasarkan
WHO di jawa ditemukan bahwa rheumatoid arthritis menempati urutan pertama ( 49%
) dari pola penyakit lansia (Boedhi Darmojo et.al, 1991).
Rheumatoid Arthritis merupaka kasus panjang yang sering diujikan,biasanya
terdapat banyak tanda-tanda fisik. Diagnosa penyakit ini mudah ditegakkan. Tata
laksananya sering merupakan masalah utama. Insiden puncak dari rheumatoid
arthritis terjadi pada umur dekade keempat, dan penyakit ini terdapat pada
wanita 3 kali lebih sering dari pada laki-laki. Terdapat familial ( HLADR-4
ditemukan pada 70% pasien ). Rheumatoid arthritis diyakini sebagai respon imun terhadap antigen
yang tidak diketahui. Stimulusnya dapat virus atau bakterial. Mungkin juga
terdapat predisposisi terhadap penyakit. Berdasarkan hal tersebut kelompok
tertarik untuk membahas tentang penyakit rheumatoid arthritis dan dapat
mengaplikasikan dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Apakah definisi dari rheumatoid
arthritis?
1.2.2
Apa saja klasifikasi dari
reumatoid arthritis?
1.2.3
Apakah Etiologi dari rheumatoid
arthritis?
1.2.4
Bagaimana patofisiologi
hreumatoid arthritis?
1.2.5
Apa Manifestasi klinis
rheumatoid arthritis?
1.2.6
Bagaimana penatalaksanaan
rheumatoid arthritis?
1.2.7
Bagaimana Asuhan keperawatan
pada pasien dengan rheumatoid arthritis?
1.3
Tujuan
1.3.1
Tujuan Umum
Mahasiswa
dapat memahami asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan muskuloskeletal
yaitu rheumatoid arthritis.
1.3.2
Tujuan Khusus
Mahasiswa
dapat menjelaskan :
1.
Definisi penyakit Rheumatoid
arthritis.
2.
Klasifikasi penyakit Rheumatoid arthritis.
3.
Etiologi penyakit Rheumatoid
arthritis.
4.
Patofisiologi penyakit
Rheumatoid arthritis.
5.
Manifestasi klinis penyakit
Rheumatoid arthritis.
6.
Penatalaksanaan penyakit
Rheumatoid arthritis.
7.
Asuhan keperawatan pada pasien
dengan rheumatoid arthritis.
1.4
Manfaat
1.4.1 Bagi Mahasiswa
Agar mampu memahami tentang rheumatoid
arhtritis dan dapat menerapkan bagaimana cara penanganan pasien dengan
rheumatoid arthritis.
1.4.2 Bagi
Institusi
Agar dapat memberikan penjelasan yang lebih luas
tentang rheumatoid arthritis, serta dapat lebih banyak menyediakan
referensi-referensi buku tentang penyakit-penyakit serta asuhan keperawatan
penyakit tersebut.
1.4.3 Bagi
Masyarakat
Agar lebih mengerti dan memahami
tentang rheumatoid arthtritis serta mengenali gejala klinis dari rheumatoid
arthtritis.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
Definisi
Rheumatoid arthritis merupakan
penyakit inflamasi auto imun sistemik, kronis dan eksaserbatif yang menyerang
persendian dengan target jaringan sinovia
Rheumatoid arthritis merupakan suatu
penyakit autoimun kronis dengan gejala nyeri, kekakuan, gangguan pergerakan,
erosi sendi dan berbagai gejala inflamasi lainnya.
Rheumatoid Arthritis (RA) merupakan penyakit autoimun
(penyakit yang terjadi pada saat tubuh diserang oleh sistem kekebalan tubuhnya
sendiri) yang mengakibatkan peradangan dalam waktu lama pada sendi.Penyakit ini
menyerang persendian, biasanya mengenai banyak sendi, yang ditandai dengan
radang pada membran sinovial dan struktur-struktur sendi serta atrofi otot dan
penipisan tulang.
2.2
Klasifikasi
Buffer (2010)
mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu:
1)
Rheumatoid arthritis klasik
pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
2)
Rheumatoid arthritis defisit
pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
3)
Probable rheumatoid
arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi yang
harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
4)
Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam
waktu 3 bulan.
2.3
Etiologi
Penyebab penyakit
rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor predisposisinya
adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor metabolik, dan infeksi
virus (Suratun, Heryati, Manurung & Raenah, 2008).
Agen spesifik penyebab arthritis rheumatoid belum dapat
dipastikan, tetapi jelas ada interaksi factor genetik dengan faktor
lingkungan.(Maini dan Feldmann,1998:Blab et al.,1999).
2.4
Patofisiologi
Pada rheumatoid
arthritis, reaksi autoimun terutama terjadi dalam jaringan sinovial. Proses
fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan
memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan
akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan
menimbulkan erosi tulang.
Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi
yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot
akan mengalami perubahan degenerative dengan menghilangnya elastisitas otot dan
kekuatan kontraksi otot (Smeltzer & Bare, 2002).
Lamanya rheumatoid
arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan adanya masa serangan dan
tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari serangan pertama
dan selanjutnya tidak terserang lagi. Namun pada sebagian kecil individu
terjadi progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan sendi yang terus menerus
dan terjadi vaskulitis yang difus (Long, 1996).
2.5
Manifestasi
Ketika penyakit ini
aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan energi, kurangnya nafsu
makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi dan kekakuan. Otot dan kekauan
sendi biasanya paling sering di pagi hari. Disamping itu juga manifestasi
klinis rheumatoid arthritis sangat bervariasi dan biasanya mencerminkan stadium
serta beratnya penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan, panas, eritema dan gangguan
fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik untuk rheumatoid arthritis
(Smeltzer & Bare, 2002). Gejala sistemik dari rheumatoid arthritis adalah
mudah capek, lemah, lesu, takikardi, berat badan menurun, anemia (Long, 1996).
2.6
Penatalaksanaan
Tujuan
utama terapi adalah :
1. Meringankan rasa nyeri dan
peradangan.
2. Memperatahankan fungsi sendi dan
kapasitas fungsional maksimal penderita.
3. Mencegah atau memperbaiki deformitas.
Program terapi dasar terdiri dari lima komponen dibawah ini
yang merupakan sarana pembantu untuk mecapai tujuan-tujuan tersebut yaitu:
1. Istirahat
2. Latihan fisik
3. Panas
4. PengobatanNutrisi
·
Aspirin (anti nyeri)dosis antara 8 s.d 25 tablet perhari,
kadar salisilat serum yang diharapakan adalah 20-25 mg per 100 ml
·
Natrium kolin dan asetamenofen meningkatkan toleransi saluran
cerna terhadap terapi obat
·
Obat anti malaria (hidroksiklorokuin, klorokuin) dosis 200 –
600 mg/hari mengatasi keluhan sendi, memiliki efek steroid sparing sehingga
menurunkan kebutuhan steroid yang diperlukan.
·
Garam emas
·
Kortikosteroid
·
Diet untuk penurunan berat badan yang berlebih
2.7
Pathway Rematoid
Atritis
Reaksi Autoimun, Faktor Metabolik dan Infeksi Virus
|
Penghancuran
tulang rawan
|
Menghilangnya
permukaan sendi
|
MK.
Hambatan mobilitas fisik
|
Elastisitas
otot dan kekakuan otot
|
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN REMATOID
ATRITIS
3.1 PENGKAJIAN
1. Anamnese
a. Identitas
1. Identitas
pasien
Nama
Umur
Jenis
kelamin
Alamat
Agama
Suku
Pendidikan
Tanggal
MRS
Tanggal
pengkajian
No.REG
dx.medis
2. Identitas
penanggung jawab
Nama
Umur
Alamat
Agama
Hubungan dengan pasien
b. Keluhan
utama
c.
Riwayat penyakit sekarang
d. Riwayat
penyakit dahulu
e. Riwayat
penyakit keluarga
f. Riwayat
psikososial
Pasien
dengan RA mungkin merasakan adanya kecemasan yang cukup tinggi apalagi pad
pasien yang mengalami deformitas pada sendi-sendi karean ia merasakan adanya
kelemahan-kelemahan pada dirinya dan merasakan kegiatan sehari-hari menjadi
berubah. Perawat dapat melakukan pengkajian terhadap konsep diri klien
khususnya aspek body image dan harga diri klien.
2. Pemeriksaan
fisik
Pemeriksaan fisik berfokus pada
aktivitas dan olahraga yang menonjolkan kesejajaran tubuh, cara berjalan,
penampilan dan pergerakan sendi, kemampuan dan keterbatasan gerak, kekuatan dan
massa otot, serta toleransi aktivitas.
1. Kesejajaran
tubuh
Tujuan pemeriksaan
kesejajaran tubuh adalah untuk mengidentifikasi perubahan postur akibat
pertumbuhan dan perkembangan normal, hal-hal yang perlu dipelajari untuk
mempertahankan postur tubuh yang baik, faktor yang menyebabkan postur tubuh
yang buruk (misalnya kelelahan dan harga diri rendah) , serta kelemahan otot
dan kerusakan motorik lainnya. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menginspeksi
pasien dari sisi lateral, dan posterior guna mengamati apakah bahu dan pinggul
sejajar, jari-jari kaki mengarah kedepan dan tulang belakang lurus, tidak
melengkung kesisi lain (Mubarok, Nurul & Chayatin, 2007).
2. Cara
berjalan
Pengkajian berjalan
dilakukan untuk mengidentifikasi mobilitas klien dan resiko cedera akibat
jatuh. Hal ini dilakukan dengan meminta klien berjalan sejauh kurang lebih 10
kaki didalam ruangan, kemudian amati hal-hal berikut: kepala tegak, pandangan
lurus, dan tulang belakang lurus. Tumit menyentuh tanah lebih dulu dari pada
jari kaki, kaki dorsofleksi pada fase ayunan.Lengan mengayun kedepan bersamaan
dengan ayunan kaki disisi yang berlawanan.Gaya berjalan halus, terkoordinasi,
dan berirama, ayunan tubuh dari sisi ke sisi minimal dan tubuh bergerak lurus
kedepan, dan gerakan dimulai dan di akhiri dengan santai.Selain itu perawat
juga perlu mengkaji kecepatan berjalan (normalnya 70-100 langkah permenit)
(Mubarok, Nurul & Chayatin, 2007).
3.
Penampilan dan
pergerakan sendi
Pemeriksaan ini meliputi inspeksi,
palpasi, serta pengkajian rentang gerak aktif atau rentang gerak pasif. Hal-hal
yang dikaji antara lain: adanya kemerahan atau pembengkakan sendi, adanya
deformitas, perkembangan otot yang terkait dengan masing-masing sendi, adanya
nyeri tekan, krepitasi, peningkatan temperatur di sekitar sendi dan derajat
gerak sendi.
4.
Kemampuan dan keterbatasan
gerak.
Pengkajian ini bertujuan
untuk mendapatkan data tentang adanya indikasi rintangan dan keterbatasan pada
pergerakan klien dan kebutuhan untuk memperoleh bantuan. Hal-hal yang perlu di
kaji antara lain :
a.
Bagaimana penyakit klien
mempengaruhi kemampuan klien untuk bergerak.
b.
Adanya hambatan dalam bergerak
c.
Kewaspadaan mental dan
kemampuan klien untuk mengikuti petunjuk.
d.
Keseimbangan dan koordinasi
klien
e.
Adanya hipotensi ortostatik
sebelum berpindah tempat.
f.
Derajat kenyamanan klien
g.
Penglihatan
5.
Kekuatan dan masa otot.
6.
Toleransi aktivitas
7.
Masa terkait mobilisasi
Pemeriksaan ini dilakukan segera setelah
klien mengalami imobilisasi. Data yang diperoleh tersebut kemudian menjadi
standar (data dasar) yang akan di bandingkan dengan data selama periode
imobilisasi(Mubarok, Nurul &Chayatin )
3. Pemeriksaan
penunjang
a.
Pemeriksaan
Laboratorium
Beberapa hasil uji laboratorium dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis
artritis reumatoid. Sekitar 85% penderita artritis reumatoid
mempunyai autoantibodi di dalam serumnya yang dikenal sebagai faktor reumatoid.
Autoantibodi ini adalah suatu faktor anti-gama globulin (IgM) yang bereaksi
terhadap perubahan IgG. Titer yang tinggi, lebih besar dari 1:160, biasanya
dikaitkan dengan nodula reumatoid, penyakit yang berat, vaskulitis, dan
prognosis yang buruk.
Faktor reumatoid
adalah suatu indikator diagnosis yang membantu, tetapi uji untuk menemukan
faktor ini bukanlah suatu uji untuk menyingkirkan diagnosis reumatoid
artritis.Hasil yang positif dapat juga menyatakan adanya penyakit jaringan
penyambung seperti lupus eritematosus sistemik, sklerosis sistemik progresif,
dan dermatomiositis.Selain itu, sekitar 5% orang normal memiliki faktor
reumatoid yang positif dalam serumnya. Insidens ini meningkat dengan
bertambahnya usia. Sebanyak 20% orang normal yang berusia diatas 60 tahun dapat
memiliki faktor reumatoid dalam titer yang rendah.
Laju
endap darah (LED) adalah suatu indeks peradangan yang bersifat tidak spesifik.Pada
artritis reumatoid nilainya dapat tinggi (100 mm/jam atau lebih tinggi lagi).
Hal ini berarti bahwa laju endap darah dapat dipakai untuk memantau aktifitas
penyakit. Artritis reumatoid dapat menyebabkan anemia normositik normokromik
melalui pengaruhnya pada sumsum tulang. Anemia ini tidak berespons terhadap
pengobatan anemia yang biasa dan dapat membuat penderita cepat lelah.
Seringkali juga terdapat anemia kekurangan besi sebagai akibat pemberian obat
untuk mengobati penyakit ini. Anemia semacam ini dapat berespons terhadap
pemberian besi.
Pada Sendi Cairan sinovial normal bersifat jernih, berwarna kuning
muda hitung sel darah putih kurang dari 200/mm3. Pada artritis reumatoid cairan
sinovial kehilangan viskositasnya dan hitungan sel darah putih meningkat
mencapai 15.000 – 20.000/ mm3. Hal ini membuat cairan menjadi tidak jernih.
Cairan semacam ini dapat membeku, tetapi bekuan biasanya tidak kuat dan mudah
pecah. Pemeriksaan laboratorium khusus untuk membantu menegakkan diagnosis
lainya, misalnya : gambaran immunoelectrophoresis HLA (Human Lymphocyte
Antigen) serta Rose-Wahler test.
b. Pemeriksaan Radiologi
Pada awal penyakit tidak ditemukan, tetapi setelah sendi mengalami
kerusakan yang berat dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya rawan sendi.
Terjadi erosi tulang pada tepi sendi dan penurunan densitas tulang.Perubahan
ini sifatnya tidak reversibel.Secara radiologik didapati adanya tanda-tanda
dekalsifikasi (sekurang-kurangnya) pada sendi yang terkena.
3.2
DIAGNOSA
1. Nyeri berhubungan
dengan perubahan
patologis oleh rheumatoid arthritis
2. Hambatan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot
3. Resiko cedera
berhubungan dengan penurunan fungsi tulang.
3.3
INTERVENSI
NO
|
DIAGNOSA
|
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1
|
Nyeri b.d perubahan patologis oleh rheumatoid
arthritis.
Tujuan:
Kebutuhan rasa nyaman klien terpenuhi atau klien
terhindar dari rasa nyeri.
Kriteria Hasil:
Keadaan umum baik
Ekspresi wajah baik
Tingkat nyeri 1
TTV normal
|
1. Istirahatkan
klien sesuai kondisi (bed rest).
2. Bila
direncanakan klien dapat menggunakan splint, atau brace.
3. Hindari
gerakan yang cepat dan tiba-tiba.
4. Lakukan
perawatan dengan hati-hati khususnya pada anggota-anggota tubuh yang sakit.
5. Gunakan
terapi panas misal kompres hangat pada area/bagian tubuh yang sakit.
6. Lakukan
peawatan kulit dan masase perlahan.
7. Memberikan
obata-obatan sesuai terapi dokter misal, analgetik, antipiretik, anti
inflamasi.
|
1. Hal
ini dapat membantu menurunkan stress muskuloskeletal,mengurangi tegangan
otot, dan meningkatkan relaksasi karena kelelahan dapat mendorong terjadinya
nyeri.
2. Hal
ini dapat mencegah deformitas lebih lanjut.
3. Agar
tidak menimbulkan dislokasi dan stres pada sendi-sendi.
4. Karena
gerakan-gerakan yang kasar akan
semakin menimbulkan nyeri.
5. Panas
dapat meningkatkan sirkulasi, relaksai otot-otot, mengurangi kekakuan.
Kemungkinan juga dapat membantu pengeluaran endorfin yaitu sejenis morfin
yang diproduksi oleh tubuh.
6. Hal
ini membantu meningkatkan aliran darah relaksasi otot, dan menghambat
impuls-impuls nyeri serta merangsang pengeluaran endorfin.
7. Menurunkan
rasa nyeri klien
|
2
|
Hambatan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot
Tujuan
: setelah
dilakukan perawatan 3 x 24 jam mobilitas persendian klien dapat meningkat
Kriteria Hasil : Klien mampu berpartisipasi
pada aktivitas yang diinginkan.
|
1. Bantu klien untuk melakukan ROM
aktif atau Pasif
2. Rencanakan program latihan setiap
hari (dapat bekerja sama dengan dokter)
3. Lakukan observasi untuk setiap
kali latihan
|
1. Untuk memelihara fungsi sendi dan kekuatan otot,
meningkatkan elastisitas
2. Agar tidak terjadi kekakuan sendi
pada klien
3. Untuk memantau perkembangan
pasien
|
3
|
Resiko tinggi
cedera b.d penurunan fungsi tulang
Tujuan:
setelah dilakukan perawatan 3 x 24 jam diharapkan tanda-tanda cidera tidak
ada.
Kriteria hasil :
Klien dapat mempertaahankan keselamatan fisik
|
1.
Kendalikan
lingkungan dengan: Menyingkirkan bahaya yang tampak jelas, mengurangi
potensial cedera akibat jatuh ketika tidur misalnya menggunakan penyanggah
tempat tidur, usahakan posisi tempat tidur rendah, gunakan pencahayaan malam
siapkan lampu panggil
2.
Memantau
regimen medikasi
3.
Izinkan
kemandirian dan kebebasan maksimum dengan memberikan kebebasan dalam
lingkungan yang aman, hindari penggunaan restrain, ketika pasien melamun
alihkan perhatiannya
daripada mengagetkannya
|
1.
Lingkungan
yang bebas bahaya akan mengurangi resiko cedera dan membebaskan keluaraga dari kekhawatiran yang konstan.
2.
Hal ini
akan memberikan pasien merasa otonomi
3.
Restrain dapat meningkatkan agitasi, mengagetkan
pasien akan meningkatkan ansietas.
|
BAB 4
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Rheumatoid
Arthritis (RA) merupakan penyakit autoimun (penyakit yang terjadi pada saat
tubuh diserang oleh sistem kekebalan tubuhnya sendiri) yang mengakibatkan
peradangan dalam waktu lama pada sendi.Penyakit ini menyerang persendian, biasanya
mengenai banyak sendi, yang ditandai dengan radang pada membran sinovial dan
struktur-struktur sendi serta atrofi otot dan penipisan tulang.
Penyebab penyakit
rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor predisposisinya
adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor metabolik, dan infeksi
virus (Suratun, Heryati, Manurung & Raenah, 2008).
4.2
Saran
4.2.1
Bagi Mahasiswa
Diharapkan
mampu memahami tentang penyakit Rheumatoid
Atritis
dan dapat menerapkan bagaimana cara penanganan pasien dengan Rheumatoid Atritis.
4.2.2
Bagi Institusi
Diharapkan
dapat memberikan penjelasan yang lebih luas tentang Rheumatoid Atritis dan dapat lebih banyak menyediakan
referensi-referensi buku tentang penyakit-penyakit serta asuhan keperawatan
penyakit tersebut.
4.2.3
Bagi Masyarakat
Diharapakan
agar lebih mengerti dan memahami tentang Rheumatoid Atritis serta bagaimana penyebaran dan
penularan Rheumatoid
Atritis untuk
meningkatkan mutu kesehatan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges E Marilynn, 2000., Rencana Asuhan
Keperawatan, EGC, Jakarta
Kalim, Handono, 1996., Ilmu Penyakit Dalam,
Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Mansjoer, Arif, 2000., Kapita Selekta
Kedokteran, Media Aesculaapius FKUI, Jakarta.
izin download