ASKEP LANSIA DENGAN GANGGUAN AKTIVITAS
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Kelompok lanjut usia adalah kelompok
penduduk yang berusia 60 tahun ke atas (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999). Pada lanjut usia akan terjadi proses
menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat
bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi. Karena itu di
dalam tubuh akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan struktural
disebut penyakit degeneratif yang menyebabkan lansia akan mengakhiri hidup
dengan episode terminal.
Mobilitas adalah pergerakan yang
memberikan kebebasan dan kemandirian bagi seseorang. Walaupun jenis aktivitas
berubah sepanjang kehidupan manusia, mobilitas adalah pusat untuk berpartisipasi
dalam menikmati kehidupan. Mempertahankan mobilitas optimal sangat penting
untuk kesehatan mental dan fisik semua lansia.
Imobilitas merupakan tingkat aktivitas
yang kurang dari mobilitas optimal. Diagnosa keperawatan yang dapat di ambil
dalam keterbatasan mobilitas adalah hambatan mobilitas fisik, potensial sindrom
disuse, dan intoleransi aktivitas.
Imobilitas, intoleransi aktivitas, dan
sindrom disuse sering terjadi pada
lansia. Sekitar 43% lansia telah diidentifikasi memiliki gaya hidup kurang
gerak yang turut berperan terhadap gangguan aktivitas.
Awitan imobilitas atau intoleransi
aktivitas untuk sebagian besar orang tidak terjadi secara tiba-tiba, bergerak
dari mobilitas penuh sampai ketergantungan fisik total atau ketidakaktifan,
tetapi lebih berkembang secara perlahan dan tanpa disadari. Intervensi yang
dapat dilakukan yaitu dengan diarahkan pada pencegahan ke arah
konsekuensi-konsekuensi imobolisasi dan ketidakaktifan dapat menurunkan
kecepatan penurunannya. Kecenderungan untuk perawatan diri dan kemandirian yang
berkelanjutan akan menurun jika penurunan imobilitas tidak di atasi atau tingkat aktivitas tidak
dipertahankan.
1.2
Rumusan
Masalah
Bagaimanakah
asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan aktivitas ?
1.3
Tujuan
1.3.1
Tujuan Umum
Menjelaskan
asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan aktivitas.
1.3.2
Tujuan Khusus
1. Menjelaskan
pengertian gangguan aktivitas pada lansia
2. Menjelaskan
etiologi
3. Menjelaskan
dampak masalah gangguan aktivitas pada lansia
4. Menjelaskan
manifestasi klinis gangguan aktivitas pada lansia
5. Menjelaskan
penatalaksanaan gangguan aktivitas pada lansia
6. Menjelaskan
asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan aktivitas
1.4
Manfaat
1.4.1
Bagi Mahasiswa
Agar mampu memahami
tentang bagaimana asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan
aktivitas sehingga dapat meningkatkan kesehatan lansia yang ada di masyarakat.
1.4.2
Bagi
Institusi
Agar dapat memberikan penjelasan
yang lebih luas tentang asuhan keperawatan
pada lansia dengan gangguan aktivitas dan dapat lebih banyak menyediakan
referensi-referensi buku tentang keperawatan gerontik.
1.4.3
Bagi Masyarakat
Agar
lebih mengerti dan memahami tentang asuhan
keperawatan pada lansia dengan gangguan aktivitas untuk
meningkatkan mutu kesehatan lansia yang ada di masyarakat.
BAB
2
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Pengertian
Aktivitas adalah
suatu energy atau keadaan bergerak dimana manusia memerlukan untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu tanda kesehatan adalah adanya kemampuan seseorang
melakukan aktivitas seperti berdiri, berjalan dan bekerja. Kemampuan aktivitas
seseorang tidak terlepas dari keadekuatan system persarafan dan
muskuloskeletel.
Aktivitas
sebagai salah satu tanda bahwa seseorang itu dalam keadaan sehat. Seseorang dalam
rentang sehat dilihat dari bagaimana kemampuannya dalam melakukan berbagai
aktivitas seperti misalnya berdiri, berjalan dan bekerja. Kemampuan aktivitas
seseorang itu tidak terlepas dari keadekuatan system persarafan dan
musculoskeletal.
Intoreransi aktivitas adalah penurunan
kapasitas fisiologis seseorang untuk mempertahankan aktivitas sampai tingkat
yang diinginkan atau yang diperlukan. Sedangkan gangguan mobilisasi sendiri adalah
suatu keadaan keterbatasan kemampuan pergerakan fisik secara mandiri yang
dialami oleh seseorang.
Pemenuhan kebutuhan aktivitas dan
latihan biasanya menyangkut tentang kemampuan untuk mobilisasi secara mandiri. Gangguan
mobilisasi dapat terjadi pada semua tingkatan umur, yang beresiko tinggi
terjadi gangguan mobilisasi adalah orang yang lanjut usia, post cedera dan post
trauma.
2.2 Etiologi
Penyebab imobilitas bermacam-macam. Pada
kenyataannya, terdapat banyak penyebab imobilitas yang unik pada orang-orang
yang di imobilisasi. Semua kondisi penyakit dan rehabilitasi melibatkan
beberapa derajat imobilitas. Ada bebetapa faktor yang berhubungan dengan
gangguan aktivitas pada lansia, yaitu:
1. Tirah
baring dan imobilitas
2. Kelemahan
secara umum
3. Gaya
hidup yang kurang gerak
4. Ketidakseimbanag
antara suplai oksigen dan kebutuhan
Berbagai penyebab dari imobilitasi fisik
dapat dihubungkan dengan lingkungan internal dan eksternal.
a) Faktor
Internal
Faktor
internal yang dapat menyebabkan imobilitas atau gangguan aktivitas adalah:
1. Penurunan
fungsi muskuloskeletal
-
Otot : adanya atrofi, distrofi, atau
cedera
-
Tulang : adanya infeksi, fraktur, tumor,
osteoporosis, atau osteomalaisa.
-
Sendi : adanya artritis dan tumor
2. Perubahan
fungsi neurologis
Misalnya
adanya infeksi atau ensefalitis, tumor, trauma, obat-obatan, penyakit vaskuler
seperti stroke, penyakit demielinasi seperti sklerosis multiple, penyakit
degeneratif, terpajan produk racun, gangguan metabolik atau gangguan nutrisi.
3. Nyeri
Nyeri
dengan penyebab yang multiple dan
bervariasi seperti penyakit kronis dan trauma.
4. Defisit
perseptual
5. Berkurangnya
kemampuan kognitif
6. Jatuh
7. Perubahan
fungsi sosial
8. Aspek
psikologis
b) Faktor
Eksternal
Banyak
faktor eksternal yang mengubah mobilitas pada lansia. Faktor tersebut adalah
program terapeutik, karakteristik tempat tinggal dan staf, sistem pemberian asuhan
keperawatan, hambatan-hambatan,dan kebijakan-kebijakan institusional.
1. Program
terapeutik
Program penanganan medis memiliki
pengaruh yang kuat terhadap kualitas dan kuantitas pergerakan pasien. Misalnya
pada program pembatasan yang meliputi faktor-faktor mekanis dan farmakologis,
tirah baring, dan restrain.
Faktor-faktor mekanis dapat mencegah
atau pergerakan tubuh atau bagian tubuh dengan penggunaan peralatan eksternal
(misalnya gips dan traksi) atau
alat-alat (misalnya yang dihubungkan dengan pemberian cairan intravena,
pengisapan gaster, kateter urine, dan pemberian oksigen). Agens farmasetik
seperti sedatif, analgesik, transquilizer, dan anastesi yang digunakan untuk
mengubah tingkat kesadaran pasien dapat mengurangi pergerakan atau
menghilangkannya secara keseluruhan.
Tirah baring dapat dianjurkan atau
merupakan akibat dari penanganan penyakit cedera. Sebagai intervensi yang
dianjurkan, istirahat dapat menurunkan kebutuhan metabolik, kebutuhan oksigen,
dan beban kerja jantung. Selain itu, istirahat dapat memberikan kesempatan pada
sistem muskuloskeletal untuk relaksasi menghilangkan nyeri, mencegah iritasi
yang berlebihan dari jaringan yang cedera, dan meminimalkan efek gravitasi.
Tirah baring dapat juga merupakan akibat dari faktor-faktor fisiologis atau
psikologis lain.
Restrain fisik dan pengamanan tempat
tidur biasanya digunakan pada lansia yang diinstitusionalisasi. Alat-alat ini
turut berperan secara langsung terhadap imobilitas dengan membatasi pergerakan
ditempat tidur dan secara tidak langsung terhadap peningkatan resiko cedera
ketika seseorang berusaha untuk memperoleh kebebasan dan mobilitasnya.
2. Karakteristik
penghuni institusi
Tingkat mobilitas dan pola perilaku dari
kelompok teman sebaya klien dapat mempengaruhi pola mobilitas dan perilakunya.
Dalam suatu studi tentang status mobilitas pada penghuni panti jompo, mereka
yang dapat berjalan dianjurkan untuk menggunakan kursi roda karena anggapan
para staf untuk penghuni yang pasif.
3. Karakteristik
staf
Karakteristik dari staf keperawatan yang
mempengaruhi pola mobilitas adalah pengetahuan, komitmen, dan jumlah.
Pengetahuan dan pemahaman tentang konsekuensi fisiologis dari imobilitas dan
tindakan-tindakan keperawatan untuk mencegah atau melawan pengaruh imobilitas
penting untuk mengimplementasikan perawatan untuk memaksimalkan mobilitas.
Jumlah anggota staf yang adekuat dengan suatu komitmen untuk menolong lansia
mempertahankan kemandiriannya harus tersedia untuk mencegah komplikasi
imobilitas.
4. Sistem
pemberian asuhan keperawatan
Jenis sitem pemberian asuhan keperawatan
yang digunakan dalam institusi dapat mempengaruhi status mobilitas penghuninya.
Alokasi praktik fungsional atau tugas telah menunjukkan dapat meningkatkan
ketergantungan dan komplikasi dari imobilitas.
5. Hambatan-hambatan
Hambatan fisik dan arsitektur dapat
mengganggu mobilitas. Hambatan fisik termasuk kurangnya alat bantu yang
tersedia untuk mobilitas, pengetahuan dalam menggunakan alat bantu mobilitas
tidak adekuat, lantai yang licin, dan tidak adekuatnya sandaran untuk kaki.
Sering kali, rancangan arsitektur rumah sakit atau panti jompo tidak
memfasilitasi atau memotivasi klien untuk aktif dan tetap dapat bergerak.
6. Kebijakan-kebijakan
institusi
Faktor lingkungan lain yang penting
untuk lansia adalah kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur institusi.
Praktik pengaturan yang formal dan informal ini mengendalikan keseimbangan
antara perintah institusional dan kebebasan individu. Semakin ketat kebijakan,
semakin besar efeknya pada mobilitas.
2.3 Dampak Masalah pada Lansia
Lansia sangat rentan terhadap
konsekuensi fisiologis dan psikologis dari imobilitas. Perubahan yang berhubungan
dengan usia disertai dengan penyakit kronis menjadi predisposisi bagi lansia
untuk mengalami komplikasi-komplikasi ini. Secara fisiologis, tubuh bereaksi
terhadap imobilitas dengan perubahan-perubahan yang hamper sama dengan proses
penuaan, oleh karena itu memperberat efek ini.
Suatu pemahaman tentang dampak
imobilitas dapat diperoleh dari interaksi kompetensi fisik, ancaman terhadap
imobilitas, dan interpretasi pada kejadian. Imobilitas dapat mempengaruhi tubuh
yang telah terpengaruh sebelumnya. Sebagai contoh, setelah masa dewasa awal
terdapat penurunan kekuatan yang jelas dan berlangsung terus secara tetap.
Oleh karena itu, kompetensi fisik
seorang lansia mungkin berada pada atau dekat tingkat ambang batas untuk
aktivitas mobilitas tertentu. Perubahan lebih lanjut atau kehilangan dari
imobilitas dapat membuat seseorang menjadi tergantung.
2.4 Manifestasi Klinis
Dampak fisik dari imobilitas dan
ketidakaktifan sangat banyak dan bermacam-macam. Masalah-masalah yang
berhubungan dapat mempengaruhi semua sistem pada tubuh.
Tabel
2.1 Dampak Fisiologis dari imobilitas dan ketidakaktifan
NO
|
EFEK
|
HASIL
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
|
Penurunan konsumsi oksigen maksimum
Penurunan fungsi ventrikel kiri
Penurunan curah jantung
Penurunan volume sekuncup
Peningkatan katabolisme protein
Peningkatan pembuangan kalsium
Perlambatan fungsi usus
Pengurangan miksi
Gangguan metabolisme glukosa
Penurunan ukuran thoraks
Penurunan aliran darah pulmonal
Penurunan cairan tubuh total
Gangguan sensori
Gangguan tidur
|
Intoleransi ortostatik
-
Peningkatan denyut jantung
-
Sinkop
Penurunan toleransi latihan
Penurunan kapasitas kebugaran
-
Penurunan massa otot tubuh
-
Atrofi muskular
-
Penurunan kekuatan otot
Osteoporosis
Konstipasi
Penurunan evakuasi kandung kemih
Intoleransi glukosa
Penurunan kapasitas fungsional
residual
-
Atelektasis
-
Penurunan PO2
-
Peningkatan pH
-
Penurunan volume plasma
-
Penurunan keseimbangan natrium
-
Penurunan volume darah total
-
Perubahan kognisi
-
Depresi dan ansietas
-
Perubahan persepsi
-
Bermimpi pada siang hari
-
Halusinasi
|
2.5
Penatalaksanaan
1)
Pencegahan primer
Pencegahan
primer merupakan proses yang berlangsung sepanjang kehidupan dan episodik. Sebagai suatu proses yang
berlangsung sepanjang kehidupan, moblilitas dan aktivitas tergantung pada
fungsi system musculoskeletal, kardiovaskuler, pulmonal. Sebagai suatu proses
episodik pencegahan primer diarahkan pada
pencegahan masalah-masalah yang dapat tmbul akibat imoblitas atau ketidak aktifan.
a. Hambatan
terhadap latihan
- Bahaya-bahaya interpersonal termasuk
isolasi social yang terjadi ketika teman-teman dan keluarga telah meninggal.
- Perilaku gaya hidup tertentu
(misalnya merokok dan kebiasaan diet yang buruk)
- Depresi gangguan tidur
- Kurangnya transportasi dan kurangnya
dukungan.
- Hambatan lingkungan termasuk
kurangnya tempat yang aman untuk latihan dan kondisi iklim yang tidak
mendukung.
- Sikap budaya
- Gender juga
dianggap sebagai hambatan karena aktivitas fisik diterima sebagai sesuatu yang
lebih penting bagi kaum pria daripada wanita.
b.
Pengembangan program latihan
Program
latihan yang sukses sangat individual, diseimbangkan, dan mengalami
peningkatan. Program tersebut disusun untuk memberikn kesempatan pada klien
untuk mengembangkan suatu kebiasaan yang teratur dalam melakukan bentuk aktif
dari rekreasi santai yang dapat memberikan efek latihan.
Aktivitas atau latihan harus disesuaikan dengan kapasitas klien. Sebelum
seorang lansia memulai program latihan, dianjurkan untuk melakukan pengkajian
sebelum latihan, yang meliputi sedikitnya riwayat lengkap dan pemeriksaan fisik
yang dilakukan oleh dokter atau praktisi keperawatan.
Ketika
klien telah memiliki evaluasi fisik secara seksama, pengkajian tentang faktor-faktor pengganggu berikut ini
akan membantu untuk memastikan keterikatan dan meningkatkan pengalaman, yaitu:
1.
Aktivitas sat ini dan respon fisiologis denyut nadsi
sebelum, selama dan setelah aktivitas diberikan).
2.
Kecenderungan alami (predisposisi atau penngkatan kearah
latihan khusus).
3.
Kesulitan yang dirasakan.
4.
Tujuan dan pentingnya lathan yang dirasakan.
5.
Efisiensi latihan untuk dirisendiri (derajat keyakinan bahwa
seseorang akan berhasil)
c.
Keamanan
Ketika program latihan spesifik
telah diformulasikan dan diterima oleh klien, instruksi tentang latihan yang
aman harus dilakukan. Mengajarkan klien untuk mengenali tanda-tanda intoleransi
atau latihan yang terlalu keras sama pentingnya dengan memilih aktivitas yang
tepat.
2)
Pencegahan Sekunder
Spiral
menurun yang terjadi akibat aksaserbasi akut dari imobilitas dapat dkurangi
atau dicegah dengan intervensi keperawatan. Keberhasilan intervensi berasal dri
suatu pengertian tentang berbagai factor yang menyebabkan atau turut berperan
terhadap imobilitas dan penuaan. Pencegahan sekunder memfokuskan pada
pemeliharaan fungsi dan pencegahan komplikasi. Diagnosis keperawatan
dihubungkan dengan pencegahan sekunder adalah gangguan mobilitas fisik.
3)
Penatalaksanaan terapeutik
Pengobatan terapeutik ditujukan
kearah perawatan penyakit atau kesakitan yang dihasilkan atau yang turut
berperan terhadap masalah imobilitis dan penanganan konsekuensi aktual atau
potensial dari imobilitas. Contoh-contoh pendekatan terhadap penanganan
imobilitas meliputi terapi fisik untuk mempertahankan mobilitas dan kekuatan
otot, kompresi pneumatik intermiten dan kekuatan otot, kompresi pneumatik
intermiten atau stoking kompresi gradien untuk meningkatkan aliran darah vena
dan mencegah tromboembolisme, spirometri insesif untuk hiperinflasi alveoli,
dan tirah baring, kecuali untuk eliminasi.
BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA
DENGAN GANGGUAN AKTIVITAS
3.1
Pengkajian
a) Anamnesa
1. Data
demografi
- Usia
-
Jenis kelamin
-
Pendidikan
-
Status
perkawinan
-
Pekerjaan
-
Pendapatan
-
Jumlah anggota
keluarga
2.
Riwayat
kesehatan
a.
Keluhan utama :
yang biasa
muncul pada pasien dengan gangguan aktivitas dan latihan adalah rasa nyeri,
lemas, pusing, mengeluh sakit kepala berat, badan terasa lelah, muntah tidak
ada, mual ada, bab belum lancar terdapat warna kehitaman dan merah segar hari
belum bab, urine keruh kemerahan, parese pada ekstermitas kanan ataupun
fraktur.
b.
Riwayat penyakit
sekarang :
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab
dari nyeri/fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya nyeri/fraktur tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana
yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya nyeri bisa
diketahui nyeri yang lain.
c.
Riwayat penyakit
dahulu :
Ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang mengalami
hipertensi apakah sebelumnya pasien pernah mengalami penyakit seperti saat ini.
d.
Riwayat
kesehatan keluarga :
Perlu dikaji penyakit riwayat keluarga yang
berhubungan dengan penyakit tulang atau tidak. Penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis
yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik
b)
Pola Fungsi
Kesehatan (GORDON)
·
Persepsi terhadap
kesehatan
1.
Tingkat
pengetahuan kesehatan / penyakit meliputi sebelum sakit dan selam sakit
2.
Perilaku untuk
mengatasi masalah kesehatan meliputi sebelum sakit dan selam sakit
3.
Faktor-faktor
resiko sehubungan dengan kesehatan
·
Pola Aktivitas
Dan Latihan
Menggunakan tabel aktifitas meliputi makan, mandi
berpakaian, eliminasi, mobilisaasi di tempat tidur, berpindah, ambulansi, naik
tangga, serta berikan keterangan skala dari 0 – 4 yaitu :
0 : Mandiri
1 : Di
bantu sebagian
2 : Di
bantu orang lain
3 : Di
bantu orang dan peralatan
4 : Ketergantungan
/ tidak mampu
Aktifitas
|
0
|
1
|
2
|
3
|
4
|
Makan
|
√
|
|
|
|
|
Mandi
|
√
|
|
|
|
|
Berpakaian
|
√
|
|
|
|
|
Eliminasi
|
√
|
|
|
|
|
Mobilisasi ditempat tidur
|
√
|
|
|
|
|
Berpindah
|
|
√
|
|
|
|
Ambulansi
|
|
√
|
|
|
|
Naik tangga
|
|
√
|
|
|
|
·
Pola Istirahat Tidur
Ditanyakan :
1.
Jam berapa biasa
mulai tidur dan bangun tidur
2.
Sonambolisme
3.
Kualitas dan
kuantitas jam tidur
·
Pola Nutrisi
- Metabolic
Ditanyakan :
1.
Berapa kali
makan sehari
2.
Makanan kesukaan
3.
Berat badan
sebelum dan sesudah sakit
4.
Frekuensi dan
kuantitas minum sehari
·
Pola Eliminasi
1.
Frekuensi dan
kuantitas BAK dan BAB sehari
2.
Nyeri
3.
Kuantitas
·
Pola Kognitif
Perceptual
Adakah gangguan penglihatan, pendengaran (Panca Indra)
·
Pola Konsep Diri
1.
Gambaran diri
2.
Identitas diri
3.
Peran diri
4.
Ideal diri
5.
Harga diri
·
Pola Koping
Cara pemecahan dan penyelesaian masalah
·
Pola Seksual –
Reproduksi
Ditanyakan : adakah gangguan pada alat kelaminya.
·
Pola Peran
Hubungan
1.
Hubungan dengan
anggota keluarga
2.
Dukungan
keluarga
3.
Hubungan dengan
tetangga dan masyarakat.
·
Pola Nilai Dan
Kepercayaan
1.
Persepsi
keyakinan
2.
Tindakan
berdasarkan keyakinan
c)
Pemeriksaan Fisik
1. Kemunduran
musculoskeletal
Indikator
primer dari keparahan imobilitas pada system musculoskeletal adalah penurunan
tonus, kekuatan, ukuran, dan ketahanan otot; rentang gerak sendi; dan kekuatan
skeletal. Pengkajian fungsi secara periodik dapat digunakan untuk memantau
perubahan dan keefektifan intervensi.
2. Kemunduran
kardiovaskuler
Tanda
dan gejala kardiovaskuler tidak memberikan bukti langsung atau meyaknkan
tentang perkembangan komplikasi imobilitas. Hanya sedikit petunjuk diagnostik
yang dapat diandalkan pada pembentukan trombosis. Tanda-tanda tromboflebitis
meliputi eritema, edema, nyeri tekan dan tanda homans positif. Intoleransi
ortostatik dapat menunjukkan suatu gerakan untuk berdiri tegak seperti gejala
peningkatan denyut jantung, penurunan tekanan darah, pucat, tremor tangan,
berkeringat, kesulitandalam mengikuti perintah dan sinkop.
3. Kemunduran
Respirasi
Indikasi
kemunduran respirasi dibuktikan dari tanda dan gejala atelektasis dan pneumonia.
Tanda-tanda awal meliputi peningkatan temperature dan denyut jantung.
Perubahan-perubahan dalam pergerakan dada, perkusi, bunyi napas, dan gas arteri
mengindikasikan adanaya perluasan dan beratnya kondisi yang terjadi.
4. Perubahan-perubahan
integument
Indikator
cedera iskemia terhadap jaringan yang pertama adalah reaksi inflamasi.
Perubahan awal terlihat pada permukaan kulit sebagai daerah eritema yang tidak
teratur dan didefinisikan sangat buruk di atas tonjolan tulang yang tidak
hilang dalam waktu 3 menit setelah tekanan dihilangkan.
5. Perubahan-perubahan
fungsi urinaria
Bukti
dari perubahan-perubahan fungsi urinaria termasuk tanda-tanda fisik berupa
berkemih sedikit dan sering, distensi abdomen bagian bawah, dan batas kandung
kemih yang dapat diraba. Gejala-gejala kesulitan miksi termasuk pernyataan
ketidakmampuan untuk berkemih dan tekanan atau nyeri pada abdomen bagian bawah.
6. Perubahan-perubahan
Gastrointestinal
Sensasi
subjektif dari konstipasi termasuk rasa tidak nyaman pada abdomen bagian bawah,
rasa penuh, tekanan. Pengosonganh rectum yang tidak sempurna, anoreksia, mual
gelisah, depresi mental, iritabilitas, kelemahan, dan sakit kepala.
d) Faktor-faktor
lingkungan
Lingkungan tempat tinggal klien
memberikan bukti untuk intervensi. Di dalam rumah, kamar mandi tanpa pegangan,
karpet yang lepas, penerangan yang tidak adekuat, tangga yang tinggi, lantai
licin, dan tempat duduk toilet yang rendah dapat menurunkan mobilitas klien.
Hambatan-hambatan institusional terhadap mobilitas termasuk jalan koridor yang
terhalang, tempat tidudan posisi yang tinggi, dan cairan pada lantai.
Identifikasi dan penghilangan hambatan-hambatan yang potensial dapat
meningkatakan mobilitas
e)
Faktor Psikososial
1. Perubahan
status psikososial klien biasa terjadi lambat dan sering diabaikan tenaga
kesehatan.
2. Observasi
perubahan tingkah laku
3. Menentukan
penyebab perubahan tingkah laku / psikososial untuk mengidentifikasi terapi
keperawatan
4. Observasi
pola tidur klien
5. Observasi
perubahan mekanisme koping klien
6. Observasi
dasar perilaku klien sehari-hari
3.2
Diagnosa
Keperawatan
Beberapa diagnosa keperawatan yang
mungkin muncul pada lansia dengan gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas dan
latihan antara lain:
1.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
bed rest atau imobilitas, mobilitas yang kurang, pembatasan pergerakan, nyeri.
2.
Gangguan mobilitas fisik berhubungan
dengan intoleransi aktivitas, gangguan persepsi kognitif, imobilisasi, gangguan
neuromuskular, kelemahan/paralisis, pemasangan traksi.
3.
Resiko cedera berhubungan dengan gangguan
neuromuskular, menurunnya kekuatan otot, dan koordinasi, kerusakan persepsi
kognitif, depresi, gangguan kognitif.
4.
Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas berhubungan dengan ketidaktepatan posisi tubuh, bed rest
atau imobilitas, mobilitas yang kurang.
5.
Defisit perawatan diri berhubungan
dengan gangguan neuromuskular, menurunnya kekuatan otot, dan koordinasi,
kerusakan persepsi kognitif, depresi, gangguan kognitif.
3.3 Intervensi
Keperawatan
a)
Tujuan
Tujuannya
adalah mengarahkan intervensi keperawatan untuk mencegah atau meniadakan sekuelafisiologis
dari imobilitas, yang meliputi lima tujuan yaitu:
1. Pertama,
meliputi pemeliharaan kekuatan dan ketahanan sistem muskuloskeletal, yang
termasuk pengondisian program latihan harian baik kontraksi otot isometrik dan
isotonik, aktivitas penguatan aerobik, nutrisi untuk meningkatkan anabolisme
protein dan pembentukan tulang, dan sikap komitmen terhadap latihan.
2. Kedua,
pemeliharaan fleksibilitas sendi yan terlibat dalam latihan rentang gerak,
posisi yang tepat, dan aktivitas kehidupan sehari-hari.
3. Ketiga,
pemeliharaan ventilasi yang normal meliputi hiperinflasi dan mobilisasi serta
menghilangkan sekresi.
4. Keempat,
pemeliharaan sirkulasi yang adekuat meliputi tindakan-tindakan pendukung untuk
mempertahankan tonus vaskuler (termasuk mengubah posisi dalam hubungannya
dengan gravitasi), stoking kompresi untuk memberikan tekanan eksternal pada
tungkai, dan asupan cairan yang adekuat untuk mencegah efek dehidrasi pada
volume darah. Pergerakan aktif memengaruhi toleransi ortostatik.
5. Kelima,
pemeliharaan fungsi urinaria dan usus yang normal bergantung pada dukungan
nutrisi dan struktur lingkungan serta rutinitas-rutinitas untuk memfasilitasi
eliminasi.
b) Intervensi
yang dapat dilakukan
1. Kontraksi
otot isometrik
Kontraksi
otot isometrik meningkatkan tegangan otot tanpa mengubah panjang otot yang
menggerakkan sendi. Kontraksi-kontraksi ini digunakan untuk mempertahankan
kekuatan otot dan mobilitas dalam keadaan berdiri (misalnya otot-otot
kuadrisep, abdominal dan gluteal) dan untuk memberikan tekanan pada tulang bagi
orang-orang dengan dan tanpa penyakit kardiovaskuler. Kontraksi isometrik
dilakukan dengan cara bergantian mengencangkan dan merelaksasikan kelompok
otot.
2. Kontraksi
otot isotonik
Kontraksi
otot yang berlawanan atau isotnik berguna untk mempertahankan kekuatan
otot-otot dan tulang. Kontraksi ini mengubah panjang otot tanpa mengubah
tegangan. Karena otot-otot memendek dan memanjang, kerja dapat dicapai.
Kontraksi isotonik dapat dicapai pada saat berada di tempat tidur, dengan
tungkai menggantung di sisi tempat tidur, atau pada saat duduk di kursi dengan
cara mendorong atau menarik suatu objek yang tidak dapat bergerak. Ketika
tangan atau kaki dilatih baik otot-otot fleksor dan ekstensor harus dilibatkan.
3. Latihan
Kekuatan
Aktivitas
penguatan adalah latihan pertahanan yang progresif. Kekuatan otot harus
menghasilkan peningkatan setelah beberapa waktu. Latihan angkat berat dengan
meningkatkan pengulangan dan berat adalah aktivitas pengondisian kekuatan.
Latihan ini meningkatkan kekuatan dan massa otot serta mencegah kehilangan
densitas tulang dan kandungan mineral total dalam tubuh.
4. Latihan
Aerobik
Latihan
aerobik adalah aktivitas yang menghasilkan peningkatan denyut jantung 60 sampai
90% dari denyut jantung maksimal dihitung dengan (220-usia seseorang) x 0,7. Aktivitas
aerobik yang dipilih harus menggunakan kelompok otot besar dan harus kontinu,
berirama, dan dapat dinikmati. Contohnya termasuk berjalan, berenang,
bersepeda, dan berdansa.
5. Sikap
Variabel
utama yang dapat mengganggu keberhasilan intervensi pada individu yang
mengalami imobilisasi adalah sikap perawat dan klien tentang pentingnya latihan
dan aktivitas dalam rutinitas sehari-hari. Sikap perawat tidak hanya
memengaruhi komitmen untuk memasukkan latihan sebagai komponen rutin
sehari-hariyang berkelanjutan, tetapi juga integrasi aktif dari latihan sebagai
intervensi bagi lansia di berbagai lingkungan; komunitas, rumah sakit, dan
fasilitas jangka panjang. Demikian pula halnya sikap klien dapat mempengaruhi
kualitas dan kuantitas latihan.
6. Latihan
Rentang Gerak
Latihan
rentang gerak aktif dan pasif memberikan keuntungan-keuntungan yang berbeda.
Latihan aktif membantu mempertahankan fleksibilitas sendi dan kekuatan otot
serta meningkatkan penampilan kognitif. Sebaliknya, gerakan pasif, yaitu
menggerakkan sendi seseorang melalui rentang geraknya oleh orang lain, hanya
membantu mempertahankan fleksibilitas.
7. Mengatur
Posisi
Mengatur
posisi juga digunakan untuk meningkatkan tekanan darah balk vena. Jika
seseorang diposisikan dengan tungkai tergantung, pengumpulan dan penurunan
tekanan darah balik vena akan terjadi. Posisi duduk di kursi secara normal
dengan tungkai tergantung secara potensial berbahaya untuk seseorang yang
beresiko mengalami pengembangan trombosis vena. Mengatur posisi tungkai dengan
ketergantungan minimal (misalnya meninggikan tungkai diatas dudukan kaki)
mencegah pengumpulan darah pada ekstremitas bawah.
BAB
4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Aktivitas adalah suatu energy atau keadaan bergerak
dimana manusia memerlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu
tanda kesehatan adalah adanya kemampuan seseorang melakukan aktivitas seperti
berdiri, berjalan dan bekerja. Kemampuan aktivitas seseorang tidak terlepas
dari keadekuatan system persarafan dan muskuloskeletel.
Intoreransi aktivitas adalah penurunan
kapasitas fisiologis seseorang untuk mempertahankan aktivitas sampai tingkat
yang diinginkan atau yang diperlukan. Sedangkan gangguan mobilisasi sendiri adalah
suatu keadaan keterbatasan kemampuan pergerakan fisik secara mandiri yang
dialami oleh seseorang.
Penyebab imobilitas bermacam-macam. Pada
kenyataannya, terdapat banyak penyebab imobilitas yang unik pada orang-orang
yang di imobilisasi. Semua kondisi penyakit dan rehabilitasi melibatkan
beberapa derajat imobilitas.
Lansia sangat rentan terhadap
konsekuensi fisiologis dan psikologis dari imobilitas. Perubahan yang
berhubungan dengan usia disertai dengan penyakit kronis menjadi predisposisi
bagi lansia untuk mengalami komplikasi-komplikasi ini. Secara fisiologis, tubuh
bereaksi terjhadap imobilitas dengan perubahan-perubahan yang hamper sama
dengan proses penuaan, oleh karena itu memperberat efek ini.
4.2
Saran
4.2.1
Bagi Mahasiswa
Diharapkan mampu
memahami tentang bagaimana asuhan
keperawatan pada lansia dengan gangguan aktivitas sehingga dapat meningkatkan
kesehatan lansia yang ada di masyarakat.
4.2.2
Bagi
Institusi
Diharapkan dapat
memberikan penjelasan yang lebih luas tentang asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan aktivitas dan dapat
lebih banyak menyediakan referensi-referensi buku tentang
keperawatan gerontik.
4.2.3
Bagi Masyarakat
Diharapkan lebih mengerti dan memahami tentang
asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan aktivitas untuk
meningkatkan mutu kesehatan lansia yang ada di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Wartonah, Tarwoto. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan
Edisi 3. Jakarta : Salemba Medika
Wilkinson M. Judith. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC Edisi 7. Jakarta
: EGC
Satya. 2012. Asuhan
Keperawatan Pada Pasien dengan Kebutuhan Aktivitas. http://satyaexcel.blogspot.com/2012/07/laporan-pendahuluan-kebutuhan-aktivitas.html.
Diakses pada tanggal 25 September 2012 jam 13.10 WIB
Stanley, Mickey & Patricia gauntiett beare. 2006. Buku Ajar Keperawaan Gerontik ed. 2. Jakarta : EGC
terima kasih