DIFTERI
A. Definisi
Difteri dikenal sebagai suatu sindrom klinis oleh Bretonneau pada awal abad ke-19. Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria, mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas, yang dapat menimbulkan penyumbatan, dan oleh kerusakan yang bersifat toksik pada organ viseral dan sistem saraf.
B. Etiologi
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae. Berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxin difteri ini, karena mempunayi efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants dari Corynebacterium diphtheriae ini yaitu; type mitis, type intermedius dan type gravis. Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa.(Depkes,2007)
Gambar.
Corynebacterium difteriae
C. Klasifikasi
Menurut tingkat keparahannya, penyakit difteri dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
a) Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.
b) Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
c) Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien, yaitu:
a) Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan ingus yang bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 % dari total kasus difteri. Bila tidak diobati akan berlangsung mingguan dan merupakan sumber utama penularan.
b) Difteri faring (pharingeal diphtheriae)dan tonsil dengan gejala radang akut tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat, tampak lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
c) Difteri laring ( laryngo tracheal diphtheriae ) dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
d) Difteri kutaneus (cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa-apa.
D. Patofisiologi
Biasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, maka hidung akan berair. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan. Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Akibat yang ditimbulkan oleh penyakit ini banyak bergantung pada efek eksotoksin yang diproduksi. Toksin menghambat pembuatan protein sel sehingga sel mati. Nekrosis jaringan pada tempat menempelnya kuman akan menunjang perkembang-biakan kuman dan produksi toksin selanjutnya, serta pembentukan membran yang melekat erat pada dasarnya.
Basil hidup dan berkembang biak pada traktus respiratorius bagian atas, terlebih bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus dan lain-lain. Tetapi walaupun jarang, basil dapat pula hidup pada daerah vulva, telinga dan kulit. Pada tempat ini basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran dapat timbul lokal atau kemudian menyebar dari faring atau tonsil ke laring dan seluruh traktus respiratorius bagian atas sehingga menimbulkan gejala yang lebih berat. Kelenjar getah bening sekitarnya akan mengalami hiperplasia dan mengandung toksin.
Eksotoksin dapat mengenai jantung dan menyebabkan miokarditis toksik atau mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul paralisis terutama otot-otot pernafasan. Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis lokal pada hati dan ginjal, malahan dapat timbul nefritis interstitialis (jarang sekali). Kematian terutama disebabkan oleh sumbatan membran pada laring dan trakea, gagal jantung, gagal pernafasan atau akibat komplikasi yang sering yaitu bronkopneumonia.
Pathway Difteri
E. Manifestasi Klinis
Keluhan awal yang paling sering adalah nyeri tenggorokan, nausea, muntah, dan disfagia. Selain itu ditandai dengan adanya membran semu di tonsil dan di sekitarnya, serta pelepasan eksotoksin, yang dapat menimbulkan gejala umum atau lokal. Gambaran klinik dibagi menjadi 3 golongan, yaitu gejala umum, lokal, dan gejala akibat eksotoksin.
a) Gejala umum, seperti penyakit infeksi lainnya, penyakit ini menimbulkan gejala suhu sub febril, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah serta nadi lambat.
b) Gejal lokal, berupa keluhan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membran semu. Membran ini meluas ke palatum mole, uvula, nasopharing dan laring, bahkan dapat juga meluas ke trakea dan bronkus. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini, bila infeksinya tidak terbendung, kelenjar limfe leher membengkak. Bengkaknya kelenjar limfe di leher ini dapat sedemikian rupa sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeester’s hals.
c) Gejala akibat eksotoksin pada jaringan tubuh, pada jantung, terjadi miokarditis dan dapat mengakibatkan payah jantung atau decompensatio cordis. Akibat eksotoksin juga dapat mengenai saraf kranial, khususnya bagian motorik dan mengenai ginjal, sehingga terjadi albuminuria.
DAFTAR PUSTAKA
Rudolph M. Abhraham, dkk. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph Edisi 20. Volume 1. Jakarta: EGC
Nursalam, dkk.
2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Jakarta : Salemba Medika
Richard E. Behrman. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Volume 2. Jakarta : EGC
0 komentar:
Posting Komentar