Asuhan Keperawatan Pertusis


PERTUSIS

1.   Defenisi

Pertusis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat menular dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodik dan paroksismal disertai nada yang meninggi.

Pertusis atau batuk rejan telah dikenal sejak abad ke-16. Organisne penyebab adalah Bordetella pertusis, dan telah di isolasi pada tahun 1906 oleh oleh Bordet dan Gengou. Oleh karena natuk rejan atau pertusis merupakan penyakit anak yang berat, maka pembuatan vaksin segera dilakukan. Namun, diperlukan beberapa tahunusaha dan banyak uji coba vaksin sebelum ditemukan vaksin yang efektif.

2.    Etiologi

Bordetella pertusis adalah satu-satunya penyebab pertusis yaitu bakteri gram negatif, tidak  bergerak,  dan ditemukan  dengan  melakukan  swab  pada  daerah nasofaring dan ditanamkan pada media agar Bordet-Gengou. (Arif Mansjoer, 2000).

3.    Patofisiologi

Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernafasan kemudian melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme pathogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan akhirnya timbul penyakit sistemik. Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran nafas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough.

Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan sub unit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.

Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk lifosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkn konsentrasi gula darah.

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan mucus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.

Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotic terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.

Cara penularan pertusis, melalui:

1.    Droplet infection.

2.    Kontak tidak langsung dari alat-alat yang terkontaminasi.

3.   Penyakit ini dapat ditularkan penderita kepada orang lain melalui percikan-percikan ludah penderita pada saat batuk dan bersin.

4.   Dapat pula melalui sapu tangan, handuk dan alat-alat makan yang dicemari kuman-kuman penyakit tersebut.

Pathway PERTUSIS

4.    Manifestasi Klinis

Menurut Abhraham M. Rudoplh (2006) masa inkubasi pertusis adalah 7-14 hari. Ada tiga stadium yang diketahui, yaitu periode kataralis, paroksismal, dan penyembuhan. 

             a.   Periode kataralis

Periode ini berlangsung beberapa hari sampai seminggu. Periode ini tidak dapat dibedakan dengan infeksi saluran pernafasan bagian atas dengan common cold, kongesti nasal, rinorea, dan bersin, dapat disertai dengan sedikit demam (low-grade fever), tearing, dan conjunctival suffusion. Pada stadium ini, pasien sangat infeksius (menular) namun pertusis dapat tetap menular selama tiga minggu atau lebih setelah onset batuk. Kuman paling mudah diisolasi juga pada stadium ini.

b.  Periode paroksismal

Periode paroksismal ditandai oleh batuk yang berangsur-angsur semakin keras karena anak mencoba mengeluarkan sekret kental, banyak, dan lengket dari saluran napas. Periode ini umumnya berlangsung 1-4 minggu. Pada periode ini, batuk terjadi cepat dan berturut-turut sehingga anak tidak sempat mengambil napas antara batuk. Karakteristik rejan di sebabkan oleh aliran masuk udara melewati laring yang tertutup sebagian. Risiko hipoksemia berat terjadi dalam periode paroksismal berat.

c.  Periode Penyembuhan

Pada periode ini, berat dan frekuensi batuk berangsur-angsur berkurang. Namun,  batuk paroksismal berlanjut dari berminggu-minggu sampain berbulan-bulan setelah pasien mulai membaik. Paroksismal bisa hilang, hanya kembali dalam bentuk lebih ringan pada penyakit pernapasan berikutnya. Pasien tidak infeksius selama periode penyembuhan. Namun, penurunan berat badan atau sulit menambah berat badan bisa terjadi, terutama pada bayi muda.

5.    Pemeriksaan Penunjang

Pertusis dapat didiagnosis selama stadium paroksismal. Sukar pada bayi-bayi yang sangat muda, adolesens, dan pada orang dewasa oleh karena mempunyai manifestasi yang atipis. Riwayat kontak dengan kasus-kasus pertusis sangatlah menolong, tetapi umumnya riwayat ini negatif pada populasi yang telah banyak mendapat imunisasi. Batuk lebih dari 2 minggu dengan emesis sesudah batuk mempunyai nilai diagnostik yang penting.

a)  Leukositosis (20.000-50.000/mm³ darah) dengan limfositosis absolut khas, pada bayi-bayi jumlah leukosit tidak dapat menolong untuk diagnosis, oleh karena respon limfositosis terdapat pula pada banyak infeksi.

b)    Foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelaktasis atau empiema.

c) Diagnostik spesifik tergantung dari didapatkannya organisme, terbaik diperiksa selama fase awalpenyakit dengan melakukan apus nasofaring yang dibiak pada media Bordet-Gengou. “Direct flourescent antibody staining” dari spesimen faring dapat membedakan diagnosis spesifik secara tepat.

d)   Diagnosis serologis dapat dilakukan dengan penentuan antibodi toksin pertussis dari sepasang serum.

e) ELISA dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap “filamentous hemoaglutinin (FHA)” dan toksin pertusis (TP). Nilai IgM-FHA dan IgM-TP serum tidak bernilai dalam penentuan seropositif oleh karena menggambarkan respon imun primer dan dapat disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG langsung terhadap toksin pertussis merupakan test yang paling sensitif dan spesifik untuk infeksi akut. IgA-FHA dan IgA-TP kurang sensitif daripada IgG-TP tetapi sangat spesifik untuk infeksi natural dan tidak terlihat sesudah imunisasi pertusis.

f)     stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada individu Kultur paling positif pada fase kataral dan awal paroksimal dan seharusnya dilakukan pada semua kasus yang tersangka. Test serologis berguna pada dengan kultur negatif.

6.    Komplikasi

a)        Alat Pernapasan

Pada alat pernapasan dapat terjadi otitis media (sering pada bayi), bronkitis, bronkopneumania, atelektasis yang disebabkan sumbatan mukus, emfisema (dapat juga terjadi emfisema mediastrum, leher kulit pada kasus yang berat, bronkrektasis, sedangkan tuberkulosis yang sebelumnya telah ada dapat terjadi bertambah berat.

b)        Alat Pencernaan

Pada alat pencernaan, dapat terjadi muntah-muntah yang berat dapat menimbulkan dehidrasi dan malnutrisi pasca muntah dan batuk, prolapsus rektum atau hernia yang mungkin timbul karena tingginya tekanan intra abdominal, ulkus pada ujung lidah karena lidah tergosok pada gigi atau tergigit pada waktu serangan batuk.

c)        Susunan Saraf

Kelainan sistem saraf sentral terjadi relatif sangat sering dan hampir selalu akibat hipoksemia atau perdarahan akibat batuk atau apnea pada bayi muda. Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat muntah-muntah kadang-kadang terdapat kongesti dan edema otak. Mungkin pula terjadi perdarahan otak

d)       Lain-lain dapat pula terjadi pendarahan lain seperti epistaksis dan perdarahan subkonjungtiva

7.    Penatalaksanaan

a)    Penilaian dan perawatan pendukung

Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati keparahan batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi dan istirahat.

b)    Agen terapeutik, agen antimikroba

Agen antimikroba selalu diberikan bila pertusis dicurigai atau diperkuat karena kemungkinan manfaat klinis dan membatsi penyebaran infeksi. Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat selama 14 hari merupakan pengobatan baku.

c)    Salbutamol

Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup pengurangan gejala-gejala dari stimulan β2-adrenergik salbutamol (albuterol). Tidak ada trial klinis tepat yang telah menunjukkan pengaruh manfaat. Pengobatan dengan aerosoldapat memicu paroksismal.

d)    Kortikostreoid

Tidak ada trial khusu buta acak cukup besar yang telah dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen pertusis. Penelitian pada binatang menunjukkan pengaruh yang bermanfaat pada manifestasi penyakit yang tidak mempunyai kesimpulan pada infeksi pernapasan pada manusia. Penggunaan klinisnya tidak dibenarkan.

e)    Globulin Imun Pertusis

Belum ada persesuaian faham mengenai pemberian imonoglobuli nstadium kataralis. Penggunaan preparat imunoglobulin jenis apapun tidak dibenarkan kecuali kalau penelitian lebih lanjut memperkuat pengaruh manfaat.

8.    Pencegahan

Imunisasi umum anak dengan vaksin pertusis, mulai pada masa bayi, adalah inti pengendalian pertusis. Walaupun banyak upaya, mekanisme penting imunitas pasca penyakit atau imunisasi, serologis berkorelasi proteksi dan penyebab kejadian-kejadian yang merugikan akibat vaksin belum diketahui. Satu-satunya standar untuk manfaat vaksin sekarang adalah kemanjuran dan keamanan.

Tujuan imunisasi sekarang adalah proteksi individu dari sakit batuk berat dan pengendalian penyakit endemik dan epidemik.





DAFTAR PUSTAKA

Rudolph M. Abhraham, dkk. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph  Edisi 20. Volume 1. Jakarta: EGC
Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Jakarta : Salemba Medika
Richard E. Behrman. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Volume 2. Jakarta : EGC