Restraint pada Bayi dan Anak


BAB 1
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tingkah laku adalah aksi, reaksi, terhadap perangsangan dari lingkungan. Bisa beruparespon pasif atau tanpa tindakan, maupun aktif dengan tindakan. Tingkah laku dapatmengalami suatu perubahan yang relatif menetap. Tingkah laku anak sangat dipengaruhi olehkarakteristik individu dan lingkungannya. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku atau kebiasaan anak.
Ada beberapa jenis tingkah laku anak yaitu Koperatif (Cooperative), Kurang koperatif (Inability to Cooperative), Tingkah laku yang tidak terkontrol (hysterical or Uncontrolled Behavior), Anak yang keras kepala (Obstinate Behavior), Anak yang Pemalu (Timid Behavior), Tingkah laku yang tegang (Tense Cooperative), Anak yang Cengeng (Whining Patient).
Adapun tehnik-tehnik dalam menangani tingkah laku anak yaitu, komunikasi dengan pasien, penanganan farmakologis dan penanganan non farmakologis. Yang termasuk penanganan non farmakologis adalah pembentukan tingkah laku TSD atau ceritakan (Tell), tunjukan (Show), kerjakan (Do), pengontrolan suara, Reinforcement, HOME (Hand Over Mounth Excercises), Modelling, Desensitisasi, Hipnosis, Appointment physical restraint.
Setiap anak memiliki sifat dan prilaku yang berbeda-beda saat menjalankan suatu perawatan, ada yang dapat menerima perawatan dengan baik dan ada yang tidak.
Teknik pengendalian fisik (restraint) merupakan teknik menahan gerakan pasien dengan cara mengunci gerakan tangan, kepala, ataupun kaki pasien sehingga memudahkan perawatan. Tekhnik ini biasanya digunakan pada anak yang mengalami kondisi tertentu, seperti gangguan kepribadian, tujuan penggunaan teknik ini adalah untuk mencegah terjadinya luka ataupun hal-hal yang tidak diinginkan pada pasien ataupun orang lain yang terlibat dalam perawatan.
Manfaat penggunaan teknik pengendalian fisik (restraint) adalah supaya pasien yang mengalami gangguan kepribadian ataupun pasien yang tidak dapat menjadi kooperatif dapat mendapatkan perawatan dengan baik.

Rumusan Masalah
Bagaimanakah tekhnik penggunaan tindakan fisik (restrain) pada bayi dan anak ?

Tujuan Penulisan
Tujuan Umum
Menjelaskan tekhnik penggunaan tindakan fisik (restrain) pada bayi dan anak.
Tujuan Khusus
Menjelaskan definisi Restraint
Menjelaskan tujuan penggunaan Restrain
Menjelaskan indikasi penggunaan Restrain pada bayi dan anak
Menjelaskan kontraindikasi penggunaan Restrain pada bayi dan anak
Menjelaskan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan Restrain pada bayi dan anak
Menjelaskan macam-macam Restrain pada bayi dan anak

Manfaat Penulisan
1.4.1 Bagi Mahasiswa
Agar mampu memahami tentang penggunaan tindakan fisik (restrain) pada bayi dan anak, serta dapat mengetahui macam-macam Restraint pada bayi dan anak.
1.4.2 Bagi Institusi
Agar dapat memberikan penjelasan yang lebih luas penggunaan tindakan fisik (restrain) pada bayi dan anak serta dapat lebih banyak menyediakan referensi-referensi buku tentang penggunaan tindakan fisik (restrain) pada bayi dan anak.
1.4.3 Bagi Masyarakat
Agar lebih mengerti dan memahami tentang penggunaan tindakan fisik (restrain) pada bayi dan anak, serta dapat lebih mengetahui macam-macam Restraint pada bayi dan anak.




























BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1     Definisi
Restraint (dalam psikiatrik) secara umum mengacu pada suatu bentuk tindakan menggunakan tali untuk mengekang atau membatasi gerakan ekstremitas individu yang berperilaku di luar kendali yang bertujuan memberikan keamanan fisik dan psikologis individu.
Restraint (fisik) merupakan alternative terakhir intervensi jika dengan intervensi verbal, chemical restraint mengalami kegagalan. Seklusi merupakan bagian dari restraint fisik  yaitu dengan menempatkan klien di sebuah ruangan tersendiri untuk membatasi ruang gerak dengan tujuan meningkatkan keamanan dan kenyamanan klien.
Perawat perlu mengkaji apakah restraint di perlukan atau tidak. Restrein seringkali dapat dihindari dengan persiapan anak yang adekuat, pengawasan orang tua atau staf terhadap anak, dan proteksi adekuat terhadap sisi yang rentan seperti alat infus. Perawat perlu mempertimbangkan perkembangan anak, status mental, ancaman potensial pada diri sendiri atau orang lain dan keamannnya.

2.2     Tujuan Penggunaan Restraint
Untuk memastikan keselamatan dan kenyaman anak
Memfasilitasi pemeriksaan
Membantu dalam pelaksanaan uji diagnostik dan prosedur terapeutik

2.3     Indikasi Penggunaan Restrain
Penggunaan tekhnik pengendalian fisik (restrain) dapat siterapkan dalam keadaan:
Pasien yang membutuhkan diagnosa atau perawatan dan tidak bisa menjadi kooperatif karena suatu keterbatasan misalnya : pasien dibawah umur, pasien agresif atau aktif dan pasien yang memiliki retardasi mental.
Ketika keamanan pasien atau orang lain yang terlibat dalam perawatan dapatterancam tanpa pengendalian fisik (restraint).
Sebagai bagian dari suatu perawatan ketika pasien dalam pengaruh obat sedasi.       

2.4     Kontraindikasi Pengunaan Restrain
Penggunaan teknik pengendalian fisik (restraint) tidak boleh diterapkan dalam keadaan yaitu:
Tidak bisa mendapatkan izin tertulis dari orang tua pasien untuk melaksanakan prosedur kegiatan.
Pasien anak kooperatif.
Pasien anak memiliki komplikasi kondisi fisik atau mental
Penggunaan teknik pengendalian fisik (restraint) pada anak dalam penatalaksanaanya harus memenuhi syarat-syarat yaitu sebagai berikut:
Penjelasan kepada pasien anak mengapa pengendalian fisik (restraint) dibutuhkandalam perawatan, dengan harapan memberikan kesempatan kepada anak untuk memahami bahwa perawatan yang akan diberikan sesuai prosedur dan aman badi pasien maupun keluarga yang bersangkutan.
Memiliki izin verbal maupun izin tertulis dari psikiater yang menjelaskan jenis teknik  pengendalian fisik yang boleh digunakan kepada pasien anak dan pentingnya teknik  pengendalian fisik yang dapat digunakan terhadap pasien berdasarkan indikasi-indikasi yang muncul.
Adanya dokumen yang menjelaskan kepada orang tua pasien anak maupun pihak keluarga pasien yang bersangkutan mengapa pengendalian fisik (restraint) dibutuhkan dalam perawatan.
Adanya penilaian berdasarkan pedoman rumah sakit dari pasien yang pernahmenjalankan pengendalian fisik (restraint) untuk memastikan bahwa pengendalian fisik tersebut telah diaplikasikan secara benar, serta memastikan integritas kulit dan status neurovaskular pasien tetap dalam keadaan baik.

Alasan mengapa perlu digunakan teknik pengendalian fisik (restraint) adalah karena tenaga kesehatan harus mengutamakan kebutuhan kesehatan pasien, teknik pengendalian tersebut dapat dilaksanakan dengan cara menjaga keamanan pasien ataupun keluarga yang bersangkutan, mengontrol tingkat agitasi dan agresi pasien, mengontrol perilaku pasien, serta menyediakan dukungan fisik bagi pasien.

2.5     Hal-hal yang perlu di perhatikan dalam penggunaan Restraint pada bayi dan anak
Pada kondisi gawat darurat, restrain/seklusi dapat dilakukan tanpa order dokter.
Sesegera mungkin (< 1jam) setelah melakukan restrain, perawat melaporkan pada dokter untuk mendapatkan legalitas tindakan baik secara verbal maupun tertulis.
Intervensi restrain dibatasi waktu yaitu: 4 jam untuk klien berusia >18 tahun, 2 jam untuk usia 9-17 tahun, dan 1 jam untuk umur <9 tahun.
Evaluasi dilakukan 4 jam untuk klien >18tahun, 2 jam untuk anak-anak dan usia 9-17 tahun.
Waktu minimal reevaluasi oleh dokter adalah 8 jam untuk usia >18 tahun dan 4 jam untuk usia <17 tahun.
Selama restrain klien di observasi tiap 10-15 menit, dengan fokus observasi:
Tanda-tanda cedera yang berhubungan dengan restrain
Nutrisi dan hidrasi
Sirkulasi dan Range of Motion eksstremitas
Vital Sign
Hygiene dan eliminasi
Status fisik dan psikologis
Kesiapan klien untuk dibebaskan dari restrain

Alat restrain bukan tanpa resiko dan harus diperiksa dan di dokumentasikan setiap 1-2 jam untuk memastikan bahwa alat tersebut mencapai tujuan pemasangannya, bahwa alat tersebut dipasang dengan benar dan bahwa alat tersebut tidak merusak sirkulasi, sensai, atau integritas kulit.
Selekman dan Snyder (1997) merekomendasikan intervensi keperawatan yang tepat untuk anak yang direstrain adalah:
Lepaskan dan pasang kembali restrain secara periodik
Lakukan tindakan untuk memberi rasa nyaman, gunakan pelukan terapeutik bukan restrain mekanik
Lakukan latihan rentan gerak jika diperlukan
Tawarkan makanan, minuman dan bantuan untuk eliminasi, beri anak dot.
Diskusikan kriteria pelepasan restrain
Berikan analgesik dan sedatif jika diinstruksikan atau di minta
Hindari kemarahan psikologik kepada pasien lain
Berikan distraksi (membaca buku) dan sentuhan
Pertahankan harga diri anak
Lakukan pengkajian keperawatan yang kontinu
Dokumentasikan penggunaan restrain

2.6     Jenis-jenis Restrain pada Bayi dan Anak
2.6.1    Pengendalian fisik (physical restraint) dengan menggunakan alat
Pengendalian fisik dengan menggunakan alat merupakan bentuk pengendalian dengan menggunakan bantuan alat bantu untuk menahan gerakan tubuh dan kepala pasien maupu nmenahan gerakan rahang dan mulut pasien.
Alat bantu untuk menahan gerakan tubuh dan kepala pasien
Sheet and ties
Penggunaan selimut untuk membungkus tubuh pasien supaya tidak bergerak dengan cara melingkarkan selimut ke seluruh tubuh pasien dan menahan selimutnya dengan perekat atau mengikatnya dengan tali.
Restraint Jaket
Restraint jaket digunakan pada anak dengan tali diikat dibelakang tempat tidur sehingga anak tidak dapat membukanya. Pita panjang diikatkan ke bagian bawah tempat tidur, menjaga anak tetap di dalam tempat tidur. Restrain jaket berguna sebagai alat mempertahankan anak pada posisi horizontal yang diinginkan.
Papoose board  
Papoose board merupakan alat yang biasa digunakan untuk menahan gerak anak saat melakukan perawatan gigi. Cara penggunaannya adalah anak ditidurkan dalam  posisi terlentang di atas papan datar dan bagian atas tubuh, tengah tubuh dan kaki anak diikat dengan menggunakan tali kain yang besar. Pengendalian dengan menggunakan papoose board dapat diaplikasikan dengan cepat untuk mencegah anak berontak dan menolak perawatan.
Tujuan utama dari penggunaan alat ini adalah untuk menjaga supaya pasien anak tidak terluka saat mendapatkan perawatan.










Gambar 2.1    Alat Restrain Sheet and ties
Restraint Mumi atau Bedong
Selimut atau kain dibentangkan diatas tempat tidur dengan salah satu ujungnya dilipat ke tengah.
Bayi diletakkan di atas selimut tersebut dengan bahu berada di lipatan dan kaki ke arah sudut yang berlawanan.
Lengan kanan bayi lurus kebawah rapat dengan tubuh, sisi kanan selimut ditarik ke tengah melintasi bahu kanan anak dan dada diselipkan dibawah sisi tubuh bagian kiri.
Lengan kiri anak diletakkan lurus rapat dengan tubuh anak, dan sisi kiri selimut dikencangkan melintang bahu dan dada dikunci dibawah tubuh anak bagian kanan. Sudut bagian bawah dilipat dan ditarik kearah tubuh dan diselipkan atau dikencangkan dengan pinpengaman.
Restraint Lengan dan Kaki
Restraint pada lengan dan kaki kadang-kadang digunakan untuk mengimobilisasi satu atau lebih ekstremitas guna pengobatan atau prosedur, atau untuk memfasilitasi penyembuhan. Beberapa alat restraint yang da di pasaran atau yang tersedia, termasuk restraint pergelangan tangan atau kaki sekali pakai, atau dapat dibuat dari pita kasa, kain muslin, atau tali stockinette tipis.
Jika restraint jenis ini di gunakan, ukurannya harus sesuai dengan tubuh anak. Harus dilapisi bantalan untuk mencegah tekanan yang tidak semestinya, konstriksi, atau cidera jaringan. Pengamatan ekstremitas harus sering dilakukan untuk memeriksa adanya tanda-tanda iritasi dan atau gangguan sirkulasi. Ujung restraint tidak boleh diikat ke penghalang tempat tidur, karena jika penghalang tersebut diturunkan akan mengganggu ekstremitas yang sering disertai sentakan tiba-tiba yang dapat menciderai anak.
Restraint siku
Adalah tindakan mencegah anak menekuk siku atau meraih kepala atau wajah. Kadang-kadang penting dilakukan pada pasien setelah bedah bibir atau agar anak tidak menggaruk pada kulit yang terganggu. Bentuk restraint siku paling banyak digunakan, terdiri dari seutas kain muslin yang cukup panjang untuk mengikat tepat dari bawah aksila sampai ke pergelangan tangan dengan sejumlah kantong vertikal tempat dimasukkannya depresor lidah. Restraint di lingkarkan di seputar lengan dan direkatkan dengan plester atau pin.

Pedi-wrap 
Pedi-wrap merupakan sejenis perban kain yang dilingkarkan pada leher sampai pergelangan kaki pasien anak untuk menstabilkan tubuh anak serta menahan gerakan tubuh anak. Pedi-wrap mempunyai berbagai variasi ukuran sesuai dengan kebutuhan.
 














Gambar 2.2   Alat Restrain Pedi-wrap
 


Alat bantu untuk menahan gerakan mulut dan rahang pasien
Molt Mouth Prop
Molt mouth prop merupakan salah satu alat yang paling penting dalam melakukan perawatan gigi. Alat ini biasanya digunakan dalam anestesi umum untuk mencegah supaya mulut tidak tertutup saat perawatan dilakukan. Alat ini juga sangat cocok dalam penanganan pasien yang tidak bisa membuka mulut dalam jangka waktu lama karena suatu keterbatasan.
Penggunaan molt mouth prop  harus memperhatikan posisi  rahang pasien saat pasien membuka mulutnya, supaya tidak terjadi dislokasi temporomandibular. Sebagai tambahan, dokter gigi harus memindahkan molt mouth prop dari mulut pasien setiap sepuluh hingga lima belas menit agar rahang dan mulut pasien dapat beristirahat.


 













Gambar 2.3   Alat Restrain Molt Mouth Prop

Molt Mouth Gags
Molt mouth gags juga merupakan salah satu alat bantu yang dapat digunakan untuk menahan mulut pasien.















Gambar 2.4   Alat Restrain Molt Mouth Gags

Tongue Blades
Tongue blades merupakan alat bantu yang digunakan untuk menahan lidah pasien supaya tidak mengganggu proses perawatan.











Gambar 2.5   Alat Restrain Tongue Blades

Pengendalian fisik (physical restraint)  tanpa bantuan alat (dengan bantuan orang lain)
Pengendalian fisik tanpa bantuan alat merupakan bentuk pengendalian fisik tanpa menggunakan bantuan alat, pengendalian bentuk ini merupakan bentuk pengendalian yang menggunakan bantuan perawat maupun bantuan orang tua atau pihak keluarga pasien.
Pengendalian fisik dengan bantuan tenaga kesehatan
Pengendalian fisik dengan menggunakan bantuan tenaga kesehatan merupakan bentuk  pengendalian fisik dimana diperlukan tenaga kesehatan, misalnya perawat untuk menahan gerakan pasien anak dengan cara memegang kepala, lengan, tangan ataupun kaki pasien anak.
Pengendalian fisik dengan bantuan orang tua pasien
Pengendalian fisik dengan bantuan orang tua sebenarnya sama dengan pengendalian fisik dengan bantuan tim medis (tenaga kesehatan). Hanya saja peran perawat digantikan oleh orang tua pasien anak. Cara pengendalian dengan menggunakan bantuan orang tua lebih disukai anak apabila dibandingkan dengan menggunakan bantuan tim medis, sebab anak lebih merasa aman apabila dekat dengan orang tuanya.

2.7     Resiko Penggunaan Restraint pada Bayi dan Anak
Terdapat beberapa laporan ilmiah mengenai kematian pasien anak yang disebabkan oleh penggunaan teknik pengendalian fisik (restraint). Hubungan kematian pasien dengan gangguan psikologi yang disebabkan penggunaan restraint adalah dimana ketika pengendalian fisik (restrain) dilakukan, pasien anak mengalami reaksi psikologis yang tidak normal, yaitu seperti menigkatnya suhu tubuh, cardiac arrhythmia yang kemudian dapat menyebabkan timbulnya positional asphyxia, excited delirium, acute pulmonary edema, atau pneumonitis yang dapat menyebabkan kematian pada anak.

BAB 3
PENUTUP

3.1     Kesimpulan
Dalam mengatasi tingkah laku anak yang sangat beragam, seorang  tenaga medis memerlukan teknik tertentu dalam melakukan perawatan, salah satunya adalah dengan penggunaan teknik pengendalian fisik (restraint).
Teknik pengendalian fisik (restraint) hanya boleh digunakan pada anak yang tidak dapat menjadi kooperatif, teknik ini tidak boleh digunakan pada anak yang kooperatif atau anak yang memiliki potensi menjadi kooperatif. Teknik pengendalian fisik memiliki beberapa jenis, yaitu teknik pengendalian dengan menggunakan bantuan alat dan teknik pengendalian tanpa menggunakan bantuan alat. Teknik  pengendalian dengan menggunakan alat merupakan teknik pengendalian yang dalam proses pengendaliannya menggunakan alat bantu.
Sedangkan teknik pengendalian tanpa menggunakan alat merupakan teknik pengendalian fisik dengan bantuan orang lain, teknik ini dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni teknik pengendalian dengan menggunakan bantuan tim medis dan teknik pengendalian dengan menggunakan bantuan orang tua.
Dalam praktiknya, teknik pengendalian fisik (restraint) tidak selalu dapat diterapkan pada setiap anak, sebab teknik ini memiliki resiko yang dapat membahayakan pasien anak hingga dapat menyebabkan kematian pada anak. Penggunaan teknik ini menyebabkan terjadinya berbagai berdebatan di kalangan masyarakat karena cara penerapannya yang dianggap kasar. Oleh karena itu, tekhnik pengendalian fisik yang baik tidak boleh berdampak buruk terhadap keadaan tubuh pasien.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tekhnik pengendalian fisik memiliki beberapa cara perawatan yang berbeda, tetapi tekhnik restraint  yang paling baik adalah teknik  pengendalian tanpa penggunaan bantuan alat, sebab dengan menggunakan alat, anak akan cenderung merasa depresi karena tubuh anak hanya ditahan oleh alat bantu, dan tidak dapat merasakan sentuhan dari orang lain, terutama orang terdekat pasien anak yaitu orang tua maupun keluarga dekat pasien anak,sedangkan teknik pengendalian tanpa menggunakan alat akan cenderung membuat pasien anak merasa lebih nyaman dan aman.
Seorang perawat yang baik harus dapat membuat pilihan yang bijaksana dalam menangani pasien anak, terutama yang tidak kooperatif. Pilihan tekhnik pendekatan perawatan yang baik akan memberikan hasil yang baik dan maksimal dalam proses perawatan, teknik restraint hanya boleh digunakan apabila teknik pendekatan yang lain sudah digunakan dan tidak berhasil.

3.2     Saran
3.2.1  Bagi Mahasiswa
Diharapkan mampu memahami tentang penggunaan tindakan fisik (restrain) pada bayi dan anak, serta dapat mengetahui macam-macam Restraint pada bayi dan anak.
3.2.2  Bagi Institusi
Diharapkan dapat memberikan penjelasan yang lebih luas penggunaan tindakan fisik (restrain) pada bayi dan anak serta dapat lebih banyak menyediakan referensi-referensi buku tentang penggunaan tindakan fisik (restrain) pada bayi dan anak.
3.2.3  Bagi Masyarakat
Diharapkan lebih mengerti dan memahami tentang penggunaan tindakan fisik (restrain) pada bayi dan anak, serta dapat lebih mengetahui macam-macam Restraint pada bayi dan anak.

Askep POLIMIOSITIS


1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Polimiositis adalah suatu peradangan otot yang etiologinya belum diketahui, dan merupakan kelainan jaringan ikat yang jarang terjadi. Gangguan imunologi mempengaruhi derajat variasi dari polimiositis. Polimiositis ini biasanya terjadi pada dewasa dan merupakan kelainan yang didapat, walaupun mungkin ada predisposisi genetik.
Polimiositis merupakan penyakit jaringan ikat menahun yang ditandai dengan peradangan yang menimbulkan nyeri dan degenerasi dari otot-otot.
Insidens polimiositis biasanya terjadi pada dewasa (usia 40-60 tahun) atau pada anak-anak (usia 5-15 tahun). Insidens polimiositis diperkirakan 5-10 kasus / 1 juta penduduk / tahun, dengan prevalensi 6-7 kasus/100.000 penduduk. Polimiositis lebih banyak ditemukan pada wanita, dengan perbandingan pria dan wanita adalah 1:2.
Penyebab polimiositis  tidak diketahui secara pasti,  namun virus atau reaksi autoimun diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini. Kanker juga bisa memicu timbulnya penyakit ini, dimana reaksi autoimun terhadap kanker mungkin diarahkan untuk melawan bahan yang terkandung di dalam otot.  Sekitar 15% penderita laki-laki berusia diatas 50 tahun, juga menderita kanker.
Gejala polimiositis pada semua umur hampir sama, tetapi biasanya pada anak-anak gejalanya timbul secara lebih mendadak. Gejalanya bisa dimulai selama atau sesudah suatu infeksi, yaitu berupa kelemahan otot (terutama otot lengan atas, panggul dan paha), nyeri otot dan sendi, kemerahan (ruam kulit), kesulitan menelan, demam, kelemahan, hingga penurunan berat badan.
 Terapi untuk komponen otot dermatomiositis melibatkan penggunaan kortikosteroid, dengan atau tanpa agen imunosupresif. Penyakit kulit diobati dengan menghindari sinar matahari, tabir surya, kortikosteroid topikal, agen antimalaria, metotreksat, mycophenolate mofetil, atau intravena (IV) imunoglobulin. Terapi fisik dan tindakan rehabilitatif diperlukan pada pasien tertentu. Langkah-langkah pelindung matahari diperlukan untuk pasien dengan penyakit kulit.

1.2         Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan polimiositis?

1.3         Tujuan Penulisan
1.3.1        Tujuan Umum
Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan polimiositis
1.3.2        Tujuan Khusus
a.    Menjelaskan definisi Polimiositis
b.   Menjelaskan klasifikasi Polimiositis
c.    Menjelaskan etiologi Polimiositis
d.   Menjelaskan patofisiologi Polimiositis
e.    Menjelaskan manifestasi Klinis Polimiositis
f.    Menjelaskan penatalaksanaan Polimiositis
g.   Menjelaskan komplikasi Polimiositis

1.4         Manfaat Penulisan
1.4.1        Bagi Mahasiswa
Agar mampu memahami tentang tentang penatalaksanaan pada pasien dengan polimiositis dan dapat menerapkan asuhan keperawatan pada penyakit yang diderita pasien
1.4.2        Bagi Institusi
Agar dapat memberikan penjelasan yang lebih luas tentang polimiositis dan dapat lebih banyak menyediakan referensi-referensi buku tentang penyakit-penyakit serta asuhan keperawatan penyakit tersebut.


1.4.3        Bagi Masyarakat
Agar lebih mengerti dan memahami tentang polimiositis serta bagaimana penyebaran limfadenitis untuk meningkatkan mutu kesehatan masyarakat.




























4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1     Definisi
Polimiositis adalah suatu peradangan otot yang etiologinya belum diketahui, dan merupakan kelainan jaringan ikat yang jarang terjadi. Gangguan imunologi mempengaruhi derajat variasi dari polimiositis. Polimiositis ini biasanya terjadi pada dewasa dan merupakan kelainan yang didapat, walaupun mungkin ada predisposisi genetik.
Polimiositis merupakan penyakit jaringan ikat menahun yang ditandai dengan peradangan yang menimbulkan nyeri dan degenerasi dari otot-otot. Polimiositis biasanya menyebabkan kelemahan simetris disertai atropi otot, terutama mengenai otot-otot paroksimal gelang bahu dan panggul, leher dan faring. Apabila peradangan otot disertai bercak merah disebut dermatomiositis.
Polimiositis dan dermatomiositis adalah inflamasi miopati idiopatik (IMI). Walaupun penyakit tersebut diakui dapat dibedakan dari penyakit jaringan ikat lainnya, namun sulit dibedakan dengan inflamasi otot yang menyertai penyakit autoimun. Polimiositis dan dermatomiositis jarang terjadi, insiden pertahun 5-10 kasus per sejuta. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada wanita dari pada pria pada semua kelompok umur.

2.2     Klasifikasi Polimiositis
a.    Polimiositis dewasa (tanpa keterlibatan kulit)
b.    Dermatomiositis dewasa (keterlibatan otot dan kulit)
c.    Polimiositis atau dermatomiositis dengan penyakit keganasan
d.   Polimiositis pada anak-anak
e.    Polimiositis atau dermatomiositis bersama kelainan-kelainan jaringan ikat lain



2.3     Etiologi
Penyebabnya tidak diketahui secara pasti, diduga faktor pencetusnya yaitu virus atau reaksi autoimun yang berperan dalam timbulnya penyakit ini. Picorna virus telah diidentifikasi pada otot penderita polimiositis, dan pemeriksaan serologis juga membuktikan keterlibatan virus Coxsackie baik pada anak maupun dewasa. Toksoplasmosis juga ditemukan pada polimiositis, tetapi pemeriksaan serologis menimbulkan dugaan bahwa toksoplasmosis hanya berperan pada miositis idiopatik.
Polimiositis juga ditemukan pada infeksi retrovirus HIV dan human T-lymphocyte virus-1 (HTLV-1). Polimiositis dilaporkan juga ditemukan pada penggunaan obat-obatan seperti D-penicillinamine, simetidin, ranitidine, analgesik (pentazocine), implantasi silikon atau kolagen, dan beberapa toksin (cyanoacrylate glues, kontaminasi silica). Obat yang terutama menginduksi polimiositis adalah D-penicillinamine.
Kanker juga bisa memicu timbulnya penyakit ini, dimana reaksi autoimun terhadap kanker mungkin diarahkan untuk melawan bahaya yang terkandung didalam otot.

2.4     Patofisiologi
Penyakit ini dapat terjadi pada segala usia. Menurut patologi didapat dari pemeriksaan histologi hasil biopsi otot bervariasi, kelainan-kelainan tersebut adalah:
1.        Degenerasi serat-serat otot, baik setempat maupun meluas.
2.        Basopilia dari sebagian serat dengan migrasi sentral dari nuklei sarkolemal.
3.        Nekrose sebagian atau sekelompok serat-serat otot.
4.        Inflamasi dari pembuluh darah yang memberi suplai kepada otot.
5.        Fibrosis interstitia yang bervariasi tingkatannya dan lamanya dalam waktu timbulnya penyakit.
6.        Bervariasi menurut diameter dari serabut.


Kelainan ini diduga berhubungan dengan sistem imun tubuh. Adanya cedera otot yang diperantarai oleh virus atau mikrovaskuler menyebabkan pelepasan dari autoantigen otot. Autoantigen ini kemudian disampaikan ke T Limfosit oleh makrofag dalam otot. Aktifasi T Limfosit menyebabkan proliferasi dan pelepasan sitokin seperti interferon gamma (IFN-gamma) dan Interleukin 2 (IL-2). IFN-gamma menyebabkan aktivasi makrofag lagi dan pelepasan mediator inflamasi seperti IL-1 dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-alfa).
Sitokin kemudian menyebabkan ekspresi yang menyimpang dari histokompabilitas kompleks mayor (MHC) molekul kelas I dan Iidan adesi molekul pada sel otot. Kerusakan serat otot terjadi ketika CD8+ T Limfosit (sitotoksik) bertemu dengan antigen bersama dengan MCH molekul kelas I pada sel otot. Makrofag kemudian menyebabkan kerusakan otot, baik  secara langsung maupun secara tidak langsung melalui sekresi sitokin.
Penyakit ini biasanya timbul dan sering dijumpai pada otot-otot paroksimal khususnya pelvis dan bahu. Mendaki tangga, berdiri dari kursi dan kegiatana lain yang mengakibatkan badan menjadi semakin sukar atau tidak mungkin melakukannya. Mengangkat lengan semakin lama semakin sukar dan menyisir rambut menjadi tidak mungkin. Otot lain (fleksor leher, otot menelan) juga terserang.
Sakit otot atau lemah terjadi terutama pada tingkat awal. Tanda eritema menunjukan dermatomiositis. Lesi merah yang menyerupai serbuk dapat terlihat didaerah periorbital yang disertai edema. Eritema dapat meluas ke muka, dahi, leher, bahu bagian atas, dada, punggung sebelah atas. Lesi pada lengan dan kaki menyerang permukaan ekstensor, jalur-jalur itu kadang mengelupas.

 2.5    Manifestasi Klinis
Gejalanya pada semua umur hampir sama, tetapi biasanya pada anak-anak gejalanya timbul secara lebih mendadak. Gejalanya bisa dimulai selama atau sesudah suatu infeksi, yaitu berupa:

a.    Kelemahan otot (terutama otot lengan atas, panggul dan paha)
b.    Nyeri otot dan sendi
c.    Fenomena Raynaud
d.   Kemerahan (ruam kulit)
e.    Kesulitan menelan
f.     Demam
g.    Kelemahan
h.    Penurunan berat badan.

Kelemahan otot bisa dimulai secara perlahan atau secara tiba-tiba, dan bisa memburuk dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Karena yang paling sering terkena adalah otot-otot yang dekat dengan pusat badan, penderita akan mengalami kesulitan dalam mengangkat lengannya melampaui bahu, menaiki tangga dan bangun dari posisi duduk di kursi. Jika menyerang otot leher, penderita akan mengalami kesulitan pada saat mengangkat kepalanya dari bantal. Kelemahan pada bahu atau panggul menyebabkan penderita harus duduk di kursi dorong atau di tempat tidur.
Kerusakan otot pada bagian atas kerongkongan bisa menyebabkan kesulitan menelan dan regurgitasi makanan. Kerusakan otot tidak terjadi pada otot-otot tangan, kaki dan wajah.
Pada 1/3 kasus terjadi pembengkakan dan nyeri sendi, tetapi cenderung ringan. Fenomena Raynaud lebih sering terjadi pada penderita polimiositis yang disertai penyakit jaringan ikat lainnya.
Polimiositis biasanya tidak mengenai organ-organ dalam selain tenggorokan dan kerongkongan. Tetapi paru-paru bisa terkena, menyebabkan sesak nafas dan batuk. Perdarahan pada ulkus di lambung atau usus, bisa menyebabkan tinja berdarah atau tinja kehitaman, yang lebih sering terjadi pada anak-anak.
Pada dermatomiositis, kemerahan cenderung timbul bersamaan dengan melemahnya otot dan gejala lainnya. Pada wajah bisa timbul bayangan kemerahan (ruam heliotrop). Yang khas adalah pembengkakan ungu-kemerahan di sekeliling mata. Kemerahan lainnya, apakah bersisik, licin atau menonjol, bisa timbul di hampir seluruh bagian tubuh, tetapi yang paling sering muncul di buku-buku jari. Bantalan kuku jari tampak kemerahan. Pada saat kemerahan ini memudar, timbul bercak kecoklatan, jaringan parut, pengkerutan atau bercak pucat di kulit.

2.6     Pemeriksaan Penunjang
a.    Creatinin kinase dengan isoenzim
b.    Elektrolit, kalsium, magnesium
c.    Serum mioglobin
d.   Kreatinin serum dan BUN
e.    Urinalisis: Mioglobinuria diindikasikan bila urinalisis positif dengan sedikit RBCs pada evaluasi mikroscopik.
f.     Hitung darah lengkap
g.    Laju endap darah
h.    Tes fungsi tiroid
i.      AST
Test lainnya:
a.    Elektrokardiogram, untuk menemukan tanda-tanda hipokalemia di bawah ini:
-       Perubahan nonspesifik difuse gelombang ST-T
-       Peningkatan interval PR
-       Gelombang U
-       QRS lebar
b.    Terapi steroid, sebaiknya diberikan sampai diagnosis pasti ditegakkan, tetapi banyak tes penting untuk menggambarkan ragam penyebab dari miopati yang tidak bersifat emergensi. Berikut ini diantaranya:
-       Tes Genetik
-       Antibodi antinuklir (ANA)
-       MRI
-       Elektromiogram (EMG)
-       Biopsi otot

2.7     Penatalaksanaan
Pada saat peradangan, hendaknya aktivitas atau pergerakan penderita dibatasi. Biasanya diberikan kortikosteroid (misalnya prednison) dosis tinggi per-oral, yang secara perlahan akan memperbaiki kekuatan otot dan meringankan nyeri dan pembengkakan, serta mengendalikan penyakit.
Setelah sekitar 4-6 minggu, jika kadar enzim otot dan kekuatan otot telah kembali normal, dosisnya diturunkan secara bertahap. Sebagian besar orang dewasa harus terus menerus mengkonsumsi prednison dosis rendah untuk beberapa tahun atau untuk mencegah kekambuhan. Setelah sekitar 1 tahun, anak-anak tidak lagi mendapatkan kortikosteroid dan bebas dari gejala.
Kadang-kadang prednison memperburuk penyakit atau tidak sepenuhnya efektif. Jika hal ini terjadi, diberikan obat imunosupresan sebagai pengganti atau sebagai tambahan terhadap prednison. Jika obat-obat lainnya tidak efektif, bisa diberikan gamma globulin (bahan yang banyak mengandung antibodi) intravena (melalui pembuluh darah).
Jika poliomiositis disertai dengan kanker, biasanya tidak akan menunjukkan respon yang baik terhadap prednison. Tetapi polimiositis akan membaik bila kankernya berhasil diatasi. Penderita dewasa dengan penyakit yang berat dan progresif, yang mengalami kesulitan menelan, malnutrisi, pneumonia atau kegagalan pernafasan, bisa meninggal.

2.8     Komplikasi
a.    Kesulitan menelan
b.    Aspirasi
c.    Otot à atrofi dan kontraktur
d.   Pada anak vasculitis
e.    Perdarahan
f.     Perforasi



2.9     WOC




























































 


















































12
BAB 3
PEMBAHASAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN POLIMIOSITIS
3.1     PENGKAJIAN
3.1.1 Anamnese
a. Identitas Pasien
Nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, pekerjaan, pendidikan terakhir, alamat.
b.  Keluhan Utama
Biasanya pasien mengeluh lemah otot, nyeri sendi, sulit atau tidak dapat melakukan kegiatan pergerakan dan pada dermatomiositis ditemukan tanda eritema.
c.    Riwayat Kesehatan
-       Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat dari dimulainya gejala penyakit sampai pasien atau keluarga memutuskan untuk dibawa ke rumah sakit. Tanyakan sejak kapan pasien merasakan keluhan seperti yang ada pada keluhan utama dan tindakan apa yang dilakukan untuk menanggulanginya.
-       Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui apakah pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya. Tanyakan pada pasien apakah pernah mengalami kelemahan otot, nyeri sendi sebelumnya dan kebiasaan pasien
-       Riwayat Penyakit Keluarga
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui apakah dalam keluarga ada anggota yang pernah menderita penyakit yang sama.  Tanyakan apakah ada keluarga pasien yang pernah menderita miositis, polimiositis (deramatomiositis).



d.   Kebiasaan sehari – hari
                                                            1.      Nutrisi                  
-       Makan, yang dikaji adalah frekuensi, jumlah porsi yang habis, cara makan  makanan yang disukai dan tidak disukai.
-       Minum, yang dikaji adalah frekuensi, jumlah, dan komposisi.
                                                            2.      Eliminasi        
-       BAB dan BAK, yang dikaji adalah frekuensi, pola eliminasi, konsistensi, warna, bentuk.
                                                            3.      Istirahat                
Jumlah jam tidur siang ataupun malam, adanya gangguan tidur atau tidak.
                                                            4.      Aktivitas        
Kegiatan yang dilakukan dari bangun tidur sampai tidur kembali
                                                            5.      Personal hygiene
Bagaimana kebiasaan dalam kebersihan diri sendiri ataupun lingkungan.

3.1.2  Pemeriksaan Fisik
a.       Data subjektif
-       Kelemahan otot
-       Nyeri sendi
-       Nyeri otot
-       Masalah gastrointestinal (nafsu makan menurun)
b.        Data objektif
-       Palpasi otot dan sendi apakah ada nyeri
-       Apakah mengalami kesukaran bernafas
-       Kontraktur dan atrofi otot
-       BB menurun
-       Observasi kemerahan pada siku, tangan, lutut, bahu, dada.
Dasar data Pengkajian Pasien
1.      Aktivitas / Istirahat
Gejala  :  Kelelahan, nyeri atau kelemahan pada otot
Tidak mampu beraktivitas atau bekerja
Gangguan tidur (insomnia atau gelisah)
Tanda  :  Kelemahan otot, kehilangan tonus otot, penurunan rentang gerak.
2.      Sirkulasi
Gejala   :  Perdarahan lama pada cedera (komplikasi)
Tanda   : 
-  Tekanan darah : tekanan  nadi melebar, desiran (menunjukkan mekanisme anemia).
-  Warna kulit : pucat atau sianosis, membaran mukosa, kulit terdapat ruam.
3.      Integritas Ego
Gejala   :  Mudah marah dan fruktasi, takut akan penolakan dari orang lain, harga diri buruk, kekuatiran mengenai menjadi beban bagi yang mendekat.
Tanda   :  Ansietas, gelisah, menarik diri, depresi, fokus pada diri sendiri.
4.      Eliminasi
Gejala   :  Sering berkemih, berkemih dengan jumlah besar
Tanda   :  Nyeri tekan pada abdomen, urine encer : terdapat darah atau protein.
5.      Makanan / Cairan
Gejala   :  Anoreksia berat, mual atau muntah, kesulitan menelan, penurunan berat badan
Tanda   :  Turgor kulit buruk (berbentuk ruam), membran mukosa kering



6.      Neurosensori
Gejala   :  Gemetar, penurunan penglihatan, bayangan pada mata, kelemahan, keseimbangan buruk, kesemutan pada ekstremitas.
Tanda   :  Kelelahan, kelemahan otot, penurunan kekuatan otot, kejang, pembekakan sendi simetri.
7.      Nyeri / Kenyamanan
Gejala   :  Nyeri otot, kaku perut, nyeri pada ekstremitas atas.
Tanda   :  Menahan sendi pada posisi nyaman, sensitivitas terhadap palpitasi pada area yang sakit.
8.      Pernapasan
Gejala   :  Dispnea
Tanda   :  Kecepatan pernapasan meningkat, takipnea.
9.      Keamanan
Gejala   :  Kekeringan pada mata dan membran mukosa, demam, lesi kulit, gangguan penglihatan.
Tanda   :  Berkeringat, mengigil berulang, gemetar, lesi pada kulit.
10.  Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala   :  Riwayat kanker, riwayat penggunaan obat, hematologi, riwayat adanya masalah dengan penyembuhan luka atau perdarahan.
Pertimbangan rencana pemulangan : memerlukan bantuan dalam hal obat, aktivitas sehari-hari, perwatan diri, mempertahankan kewajibannya.

3.1.3 Pemeriksaan Diagnostik
a.    Pemeriksaan atau tes secara manual
b.   Tes otot secara manual untuk menetukan tingkat kelemahan otot akibat penyakit
c.     Biopsi otot
d.   Elektromiografi
e.    Tes serum enzim (serum SGOT), creatinin, CPK dan adolase meningkat
f.    Tes urine 24 jam.

3.2     DIAGNOSA YANG SERING MUNCUL
1.      Gangguan rasa nyaman (nyeri kronik)  berhubungan dengan peradangan pada otot
2.      Intoleransi  aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot
3.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan  kurangnya intake makanan
4.      Resiko cidera berhubungan dengan defisit motorik

3.3     INTERVENSI
No
DIAGNOSA KEPERAWATAN
INTERVENSI
RASIONAL
1.
Nyeri kronik berhubungan dengan peradangan pada otot.

Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam nyeri dapat berkurang, pasien dapat tenang dan keadaan umum cukup baik

Kriteria Hasil:
·  Klien mengungkapakan nyeri yang dirasakan berkurang atau hilang
·  Klien tidak menyeringai kesakitan
·  TTV dalam batasan normal
·  Intensitas nyeri berkurang (skala nyeri berkurang 1-10)
·  Menunjukkan rileks, istirahat tidur, peningkatan aktivitas dengan cepat


1.      Selidiki keluhan nyeri, perhatikan lokasi, itensitas nyeri, dan skala
2.      Anjurkan pasien untuk melaporkan nyeri segera saat mulai


3.      Pantau tanda-tanda vital




4.      Jelaskan sebab dan akibat nyeri pada klien  serta keluarganya


5.      Anjurkan istirahat selama fase akut
6.      Anjurkan teknik distruksi dan relaksasi




7.      Berikan situasi lingkungan yang kondusif


8.      Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian tindakan
1.     Nyeri insisi bermakna pada pasca operasi awal diperberat oleh gerakan
2.     Intervensi dini pada kontrol nyeri memudahkan pemulihan otot dengan menurunkan tegangan otot
3.     Respon autonomik meliputi, perubahan pada TD, nadi, RR, yang berhubungan dengan penghilangan nyeri
4.     Dengan sebab dan akibat nyeri diharapkan klien berpartisipasi dalam perawatan untuk mengurangi nyeri
5.     Mengurangi nyeri yang diperberat oleh gerakan
6.     Menurunkan tegangan otot, meningkatkan relaksasi, dan meningkatkan rasa kontrol dan kemampuan koping
7.     Memberikan dukungan (fisik, emosional, meningkatkan rasa kontrol, dan kemampuan koping)
8.     Menghilangkan atau mengurangi keluhan nyeri klien
2.
Intoleransi  aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot.

Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam pasien dapat melakukan aktivitas dan latihan secara mandiri


Kriteria Hasil:
·  Keadaan umum cukup
·  Kelemahan otot pasien berkurang
·  Pasien mampu melakukan aktivitas secara mandiri
·  TTV dalam batas normal

1.     Kaji  kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas. Catat laporan kelelahan dan keletihan.
2.     Awasi TD, nadi, pernapasan, selama dan sesudah aktivitas



3.     Bantu pasien dalam melaksanakan aktivitas dan latihan

4.     Berikan alat bantu untuk ambulatori yang sesuai

5.     Anjurkan pasien berhenti bila terjadi nyeri dada, kelemahan atau pusing terjadi.
6.     Mengatur posisi yang nyaman.


7.     Kolaborasi dalam pemberian terapi oksigen tambahan
1.     Mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan


2.     Manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen adekuat ke jaringan
3.     Aktivitas dan latihan yang teratur dapat mengurangi kelemahan otot pasien
4.     Untuk memudahkan pasien melakukan aktivitas
5.     Stress berelebihan dapat menimbulkan kegagalan


6.     Posisi yang nyaman dapat memberikan rasa nyaman pada pasien saat beristirahat
7.     Memaksimalkan sediaan oksigen untuk kebutuhan seluler
3.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurangnya intake makanan

Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7x24 jam kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi

Kriteria hasil:
·  Keadaan umum cukup
·  Turgor kulit baik
·  BB meningkat
·  Kesulitan menelan berkurang
1.     Anjurkan pasien untuk makan dengan porsi yang sedikit tapi sering

2.     Berikan makanan yang lunak
3.     Lakukan oral hygiene


4.     Timbang BB dengan teratur

5.     Observasi tekstur, turgor kulit pasien
6.     Observasi intake dan output nutrisi

1.     Menjaga nutrisi pasien tetap stabil dan mencegah rasa mual muntah
2.     Untuk mempermudah pasien menelan
3.     Kebersihan mulut dapat merangsang nafsu makan pasien
4.     Mengetahui perkembangan status nutrisi pasien
5.     Mengetahui status nutrisi pasien
6.     Mengetahui keseimbangan nutrisi pasien
4.
Resiko cidera berhubungan dengan defisit motorik

Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam keadaan pasien membaik

Kriteria hasil:
·         Tidak terjadi atau tidak ada cedera


1.     Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari
2.     Berikan posisi tidur yang nyaman pada pasien


3.     Cegah tekanan pada daerah tonjolan dengan pelindung yang seimbang
4.     Anjurkan pasien untuk istirahat dan melakukan kegiatan yang seimbang
1.     Pasien merasa nyaman saat melakukan aktivitasnya
2.     Posisi yang nyaman dapat memberikan rasa nyaman pada pasien saat beristirahat
3.     Mengurangi resiko terjadinya cedera


4.     Mengontrol aktivitas pasien

















19
BAB 4
PENUTUP

4.1     Kesimpulan
Polimiositis merupakan penyakit jaringan ikat menahun yang ditandai dengan peradangan yang menimbulkan nyeri dan degenerasi dari otot-otot. Penyebabnya tidak diketahui,di duga adanya virus atau reaksi autoimun berperan dalam timbulnya penyakit ini.
Kanker juga bisa memicu timbulnya penyakit ini, dimana reaksi autoimun terhadap kanker mungkin diarahkan untuk melawan bahan yang terkandung di dalam otot. Sekitar 15% penderita laki-laki berusia diatas 50 tahun, juga menderita kanker.
Gejalanya pada semua umur hampir sama, tetapi biasanya pada anak-anak gejalanya timbul secara lebih mendadak. Untuk pengobatannya pada saat peradangan, hendaknya aktivitas/pergerakan penderita dibatasi.

4.2     Saran
4.2.1    Bagi Mahasiswa
Diharapkan mampu memahami tentang tentang penatalaksanaan pada pasien dengan polimiositis dan dapat menerapkan asuhan keperawatan pada penyakit yang diderita pasien
4.2.2        Bagi Institusi
Diharapkan dapat memberikan penjelasan yang lebih luas tentang polimiositis dan dapat lebih banyak menyediakan referensi-referensi buku tentang penyakit-penyakit serta asuhan keperawatan penyakit tersebut.
4.2.3        Bagi Masyarakat
Diharapkan lebih mengerti dan memahami tentang polimiositis serta bagaimana penyebarannya untuk meningkatkan mutu kesehatan masyarakat.



 DAFTAR PUSTAKA

Barbara C. 2004 .Perawatan Medikal bedah 2 (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan). Jakarta:EGC

Dongoes, Marilynn E, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Price, Sylvia. A dan Wilson, lorraince. M. 2006. Patofisiologi Edisi 6. Volume 2 Jakarta : EGC

Stanley L. Robbins. 1998. Buku Ajar Patologi I. Jakarta:EGC

Stanley L. Robbins. 2000. Buku Ajar Patologi II. Jakarta:EGC

Anonim. 2008. Inflamasi Miopati Idiopatik. http://indonesiamedicals.blogspot. com/2008/12/inflamasi-miopati-idiopatik.html (diakses pada tanggal 24 April 2012 jam 11.22 WIB)